Di Jakarta jual ginjal buat tebus ijazah, di Malang buat kuliah
"Ada lima rekan kami yang berniat menjual ginjalnya agar bisa membayar SPP," kata koordinator aksi.
Kemarin, lima mahasiswa Universitas Brawijaya Malang berencana menjual ginjalnya untuk membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang dinilai terlalu mahal, tidak terjangkau, dan harus dibayar sekaligus untuk setahun. Rencana kelima mahasiswa yang akan menjual ginjalnya demi melunasi SPP tersebut terungkap ketika mereka menggelar unjuk rasa di depan gedung rektorat kampus setempat, Selasa (20/8).
"Ada lima rekan kami yang berniat menjual ginjalnya agar bisa membayar SPP," kata koordinator aksi protes pemberlakuan uang kuliah tunggal (UKT), Nano.
Dia dan sebagian besar mahasiswa, termasuk mahasiswa baru, menilai pemberlakuan UKT bukannya meringankan beban orang tua, justru memberatkan. Apalagi, kebijakan rektorat terkait keringanan dan penundaan pembayaran SPP juga telah dihapus.
Solusi yang ditawarkan pihak rektorat, kata mahasiswa FISIP semester 5 itu, adalah pinjam di BRI. Pinjam uang di bank justru akan menambah beban orang tua yang harus mengangsur pinjaman dengan bunga tinggi.
Nano mengemukakan pihaknya bersama sejumlah mahasiswa lainnya telah mengadu ke rektorat akan menjual ginjalnya untuk melunasi SPP yang pembayaran terakhirnya pada tanggal 23 Agustus 2013.
"Jumlah SPP dan uang gedung serta biaya lainnya cukup besar, bahkan ada yang sampai mencapai Rp 43 juta. Oleh karena itu, kami akan terus memperjuangkan agar mahasiswa bisa mendapatkan dispensasi penundaan pembayaran," tegasnya dikutip antara.
Kasus yang terjadi di Unibraw ini mengingatkan kita pada kasus serupa yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu. Sugianto (45) nekat menjual ginjalnya dengan berkeliling Bundaran HI, Jakarta Pusat. Hal itu dilakukan untuk menebus ijazah Ayu (19), anak kedua Sugianto yang ditahan pihak sekolah karena tunggakan sebesar Rp 17 juta.
"Untuk itu saya jual ginjal saya sesuai dengan tagihan anak saya. Sebetulnya Rp 1 miliar tidak akan saya jual cuma ini demi masa depan anak," ujar Sugianto di Bundaran Hotel Indonesia, Rabu (26/6) lalu.
Sugianto menjelaskan, Ayu menimba ilmu di Yayasan Nurul Iman, Parung, Bogor, yang merupakan sekolah terusan SMP, SMA dan kuliah. "Awalnya sekolah tersebut gratis, namun setelah ganti kepemimpinan mendadak bayar. Namun tidak ada pemberitahuan. Jadi tunggakan di SMP Rp 7 juta dan SMA Rp 10 juta," kata dia.
Segala usaha dilakukan Sugianto, dari mendatangi Komnas HAM, menyurati Komisi X DPR RI hingga minta keringanan dari pihak sekolah namun tidak membuahkan hasil. Sugianto yang berprofesi sebagai tukang jahit dengan penghasilan Rp 2,5 juta perbulan menyatakan tak sanggup membayar tunggakan tersebut.
"Istri sudah meninggal sejak 12 tahun yang lalu. Pendapatan segitu tetapi harus bayar kontrakan Rp 600 ribu per bulannya" katanya.
Sebenarnya Ayu kasihan melihat bapaknya jika harus ginjal. Tetapi Sugianto bersikeras ingin menjual demi Ayu meneruskan pendidikan yang lebih tinggi.
"Saya ingin melanjutkan kuliah. Sekarang masih bantu-bantu bapak di rumah," ujar Ayu yang menggunakan kerudung tersebut.