Di Jawa ada 'Ora Elok', di Sunda ada 'Pamali'
Lelaku yang ditabukan masyarakat, tetapi tak tertulis.
Ora Elok merupakan istilah Bahasa Jawa yang berarti tidak baik, tidak bagus, tidak etis dan arti lainnya yang berisi larangan. Ungkapan 'Ora Elok' pada masyarakat Jawa merupakan suatu tradisi atau budaya yang unik dan masih berkembang sampai saat ini.
Ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan atau melanggar unggah-ungguh. Unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa merupakan aturan kesopanan yang tidak tertulis, tetapi dipegang sangat kuat.
"Neng Jowo ono paugeran istilahe ora elok. Paugeran iku aturan ben jowo (Di Jawa itu ada aturan-aturan yang istilahnya tidak etis dilakukan. Aturan itu dimaksudkan supaya orang ngerti)," ujar tokoh masyarakat Jawa, Samini (65 tahun), saat berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Kamis (24/3) lalu.
Menurut Samini, aturan Jawa yang diistilahkan dengan 'Ora Elok' tersebut bukan tanpa maksud. Aturan-aturan 'Ora Elok' itu berisi larangan dengan segmen kelompok yang berbeda-beda. Bagi anak-anak, remaja, dan orang tua.
Bagi orang Jawa, khususnya orang tua, ungkapan 'Ora Elok' menjadi salah satu ungkapan yang digunakan untuk mengingatkan sesuatu hal kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Kalimat-kalimat yang mengikuti ungkapan 'Ora Elok' mengandung nasihat-nasihat berisi pelajaran unggah-ungguh, etika, atau budi pekerti.
"Isinya tuntunan atas tindakan dan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari dan pergaulan dengan masyarakat," ucapnya.
Ungkapan 'Ora Elok' dalam Bahasa Jawa beragam macamnya. Seperti 'Ora elok nglungguhi bantal, engko wudunen' (Tidak baik menduduki bantal, nanti bisa bisulan), 'Ora elok dolanan beras, engko tangane kithing' (Tidak baik bermain beras, nanti jari tangannya bertumpang tindih). Kemudian 'Ora elok perawan lungguh ngadek neng ngarep lawang, mengko iso dadi perawan tuwa (Tidak baik anak gadis duduk atau berdiri di tengah pintu, nanti bisa jadi perawan tua), 'Ora elok ngidoni sumur, mengko lambene guwing (Tidak baik meludahi sumur, nanti bibirnya sumbing), dan masih banyak lagi istilah 'Ora Elok' lainnya.
Jika di masyarakat Jawa ada ungkapan 'Ora Elok', di masyarakat Sunda pun juga ada. Di tengah-tengah masyarakat Sunda, dikenal ungkapan atau istilah 'Pamali' yang artinya juga tak jauh beda dengan tidak bagus, tidak baik dan tidak etis yang sifatnya larangan.
Pamali atau tabu yang ada di lingkungan masyarakat orang Sunda jaman dahulu juga masih banyak mengakar kuat dalam kehidupan sekarang. Terlepas dari masalah mitos, tak sedikit orang Sunda yang patuh akan nasehat orang tua dengan menggunakan istilah 'Pamali'.
"Pamali itu tak bagus, larangan dan jangan dilakukan. Ada maksudnya orang tua dulu memberikan nasihat," kata Ufi yang merupakan orang Sunda.
Ufi berpandangan pamali alias pantangan-pantangan memang tak terlepas dari kebiasaan dan adat pada masyarakat Sunda. Apalagi, pantangan-pantangan dan pamali tersebut kebanyakan sudah dipercaya secara turun temurun sejak dulu kala. Tanpa ada hukum dan aturan yang baku mengenai hal tersebut, pamali dan pantangan terus dipegang teguh dan dipercayai oleh penduduk dari suku Sunda.
"Menarik memang, bahkan pamali sekecil apa pun akan membuat orang Sunda merasa segan untuk melanggar. Apalagi yang memberikan petuah orang tua atau dituakan," ucapnya.
Adapun macam pamali dalam ungkapan orang Sunda seperti 'Ulah tatalu ti peuting' (Pamali memukul-mukul sesuatu pada malam hari), 'ulah neukteukan kuku ti peuting' (Pamali memotong kuku pada malam hari), 'Ulah ngaheot ti peuting' (Pamali bersiul pada malam hari) dan ungkapan pamali lainnya.