Ekspansi perkebunan sawit dituding jadi ancaman DAS Peusangan Aceh
Ekspansi perkebunan sawit dituding jadi ancaman DAS Peusangan Aceh. Kondisi DAS Peusangan Aceh kini kritis. Jika musim kemarau, airnya menyusut. Sedangkan memasuki musim penghujan sering terjadi banjir.
Ekosistem di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan dalam kondisi kritis. Kondisi ini mengancam kehidupan 1 juta jiwa di enam kabupaten/kota di Aceh yang memanfaatkan DAS tersebut.
Kondisi ini diakibatkan semakin maraknya pertumbuhan perkebunan sawit setiap tahunnya. Perkebunan sawit itu berada di sepanjang DAS Peusangan, yang membuat debit air semakin berkurang.
Data yang dirilis Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP), lebih 200 ribu hektare lahan yang menjadi penyeimbang DAS Peusangan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Kondisi ini semakin mengancam DAS Peusangan.
Sebelumnya lahan tersebut menjadi serapan dan suplai air untuk DAS Peusangan dengan adanya banyak pepohonan. Namun sekarang kondisi ini sudah berbalik, perkebunan sawit telah mengubah ekosistem akibat banyak air yang dibutuhkan oleh pohon tersebut.
Ketua DAS Peusangan, Suhaimi Hamid mengatakan, kondisi ini semakin mengkhawatirkan bila pertumbuhan perkebunan sawit tidak terkontrol, DAS Peusangan semakin kritis akibat degradasi lahan. Hingga berpengaruh besar terhadap ekosistem dan ketersediaan air di DAS Peusangan.
"Degradasi itu disebabkan oleh perluasan perkebunan sawit yang tak terkontrol sama sekali, hingga berpengaruh terhadap DAS Peusangan. Hampir semua sepanjang DAS Peusangan di Bireuen itu sudah ada perkebunan sawit," kata Suhaimi Hamis saat dihubungi, Selasa (14/1).
Menurut Suhaimi, ada banyak modus yang dilakukan pihak perusahaan pengembangan perkebunan sawit untuk memperluas kebunnya. Di antaranya, perusahaan membeli kebun dari warga dan kemudian dijadikan perkebunan sawit di sepanjang DAS Peuasangan.
"Memang katanya di atas HGU, tapi kenyataannya yang dibeli dari masyarakat, satu hektare, dua hektare oleh pihak perusahaan dan dijadikan perkebunan sawit dan itu tidak terpantau dari pihak pemerintah," jelasnya.
Bahkan sebutnya, ada delapan koperasi yang memiliki lahan diambil alih oleh perusahaan sawit. Lahan milik koperasi itu dibeli perusahaan dan dijadikan perkebunan sawit tanpa ada terpantau oleh pihak pemerintah.
Bila ini tidak ada perhatian khusus dari Pemerintah Aceh dan Daerah, sebutnya, akan sangat berpengaruh terhadap kondisi DAS Peusangan sekarang.
Padahal, DAS Peusangan ini menghidupi 1 juta lebih jiwa di enam kabupaten/kota, yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Utara, Pidie Jaya dan Kota Lhokseumawe.
Pengaruhnya seperti degradasi lahan, kurang debut air dan yang lebih parah, sebutnya, terjadi konflik satwa. Bahkan juga berpengaruh terhadap kebutuhan air masyarakat dan juga lahan pertanian kekurangan suplai air.
"Lahan pertanian, sekarang sudah tidak dapat dialiri lagi saat kemarau, karena debit air sudah sedikit. Kalau hujan melimpah dan banjir," jelasnya.
Dia mencontohkan, sebelumnya sungai Simpo di Kecamatan Simpo, Kabupaten Bireuen tak pernah kering saat kemarau. Akan tetapi setelah perkebunan sawit semakin luas, sungai Simpo kering bila kemarau tiba.
"Sebelumnya tak pernah kita dengar sungai Simpo kering, termasuk sumur biasanya 6-7 meter sudah dapat air, sekarang 12 meter belum juga dapat air," keluhnya.
DAS Peusangan semakin kritis ditambah maraknya galian C yang tidak terkontrol dan terkesan dibiarkan tanpa ada upaya penertiban oleh pemerintah.
"Misalnya ada izin satu bulan, kenyataan sampai lebih satu bulan masih beroperasi. Lalu diberi izin pada titik A, dilakukan pada titik B dan itu tidak ada yang melakukan pengawasan dan bekerja di bawah tangan," sebutnya.