ELSAM: Jokowi pertontonkan drama penggantungan terpidana mati
Alasan pertama, kata Wahyudi, hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebut pemerintahan Jokowi-JK sedang mempertontonkan serial drama penggantungan pelaksanaan eksekusi terhadap 6 terpidana mati kasus narkoba pada Januari 2015 lalu. Serial ini berlanjut dengan rencana Kejaksaan Agung untuk melakukan eksekusi terhadap 11 terpidana lainnya, dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi.
"Padahal sejumlah alasan, baik moral kemanusiaan, kewajiban hukum internasional, politik hubungan internasional, kewajiban perlindungan warga negara, memperlihatkan tidak lagi relevannya praktik dan ancaman hukuman mati," kata Peneliti ELSAM Wahyudi Djafar dalam sebuah diskusi, Jakarta, Minggu (12/4).
Oleh karena itu, tegas dia, ELSAM menolak pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Ada sebab-sebab yang mendasar mengapa hukuman mati tidak relevan dilakukan.
Alasan pertama, kata Wahyudi, hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No 12/2005 Pasal 6 Ayat 1 yang menyatakan hak hidup adalah hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status dan kewarganegaraan," jelasnya.
Alasan kedua, lanjut dia, hukuman mati adalah bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah berulang kali menegaskan bahwa praktik eksekusi mati adalah suatu tindakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan derajat martabat seseorang.
"Alasan ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana sehingga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman," tegas Wahyudi.
Dalam banyak kasus termasuk Indonesia, kata dia, kesalahan penghukuman menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana. Kurangnya kontrol peradilan yang efektif, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dikoreksi.
Alasan hukuman mati harus ditolak, lanjut dia, tidak sejalan dengan arah pembaharuan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam.
"Alasan selanjutnya, efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos belaka. Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survei komprehensif yang dilakukan PBB pada tahun 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Mayoritas panelis dan hadirin pada OHCHR event on abolishing the death penalty 2012 mengatakan, alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar-besarkan selama beberapa dekade terakhir ini," paparnya.