Epidemiolog Wanti-Wanti, Prediksi Gelombang 3 Covid-19 Terjadi di Bulan Desember 2021
Fenomena natal dan tahun baru cenderung dikaitkan dengan aktivitas berlibur. Mulai dari pergerakan mobilitas hingga interaksi yang tinggi. Hal ini dinilai dapat membuka potensi penyebaran mutasi virus Covid-19. Terlebih varian Delta yang saat ini belum juga selesai.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman memprediksi ancaman gelombang tiga Covid-19 kemungkinan besar terjadi di Desember 2021.
Ia melihat potensi melonjaknya kasus Covid-19 dimulai dari libur natal dan tahun baru yang berlangsung 2 pekan sebelumnya.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Apa yang terjadi pada kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Kasus Covid-19 meningkat di Ibu Kota menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
"Kalau saya prediksinya akhir Desember atau awal Januari, pertama mulai terjadi peningkatan kasus. Karena yang namanya liburan kan itu Natalan itukan pertengahan itu udah mulai libur itu, jadi dua minggu kan pertengahan Desember itu orang udah mulai (liburan). Ini bicaranya asumsinya nggak direndam ya, dua minggu jadi pertengahan Desember udah mulai libur ya berarti akhir Desember sudah mulai kasus-kasus itu naik," ujarnya saat dihubungi Merdeka, Rabu (13/10).
Fenomena natal dan tahun baru cenderung dikaitkan dengan aktivitas berlibur. Mulai dari pergerakan mobilitas hingga interaksi yang tinggi. Hal ini dinilai dapat membuka potensi penyebaran mutasi virus Covid-19. Terlebih varian Delta yang saat ini belum juga selesai.
"Varian Delta yang belum selesai loh, bahkan ada potensi varian baru seperti Mu, C.1.2 yang bisa jadi sudah ada di Indonesia yang akan bisa memperburuk," ujarnya.
Selain itu ia juga mengatakan penyebab utama third wave dapat terjadi dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia belum divaksinasi. Level penurunan komunitas (level community transmission) di Indonesia yang rendah dapat menyebabkan lemahnya pencegahan third wave di Indonesia.
"Indonesia masih dalam level community transmission, yang artinya belum bisa mendeteksi sebagian besar kasus," katanya.
Disisi lain, Pengamat Kebijakan Publik Dr. Trubus Rahardiansyah, SH, MH, MS, menyampaikan bahwa lonjakan kasus bisa saja terjadi mulai dari kelonggaran yang diberikan pemerintah seperti penurunan waktu karantina bagi wisatawan mancanegara (wisman) yang berlibur ke Pulau Dewata saat penerbangan internasional dibuka besok.
"Yang dulunya 8 hari dipersingkat jadi 5 hari untuk karantinanya. Nah itu nanti kebijakan itu membawa potensi terjadinya banyaknya wisatawan datang ke Bali itu berpotensi terjadi penularan lagi," ujarnya saat dihubungi Merdeka, Rabu (13/10).
Ia juga menilai pengawasan dari pemerintah pusat dan daerah saat ini sudah kendor dan tidak seketat yang dulu. Terlebih terkait aplikasi PeduliLindungi yang tidak menjamin pemerintah dapat melacak masyarakat yang tergolong kategori merah dan hitam.
"Sekarang banyak orang berkeliaran kategori merah dan hitam kan, lalu mereka juga tidak melakukan tindakan apa-apa. Harusnya kan itu begitu ketahui yang bersangkutan merah atau hitam segera ini pemerintah merekomendasikan atau melalui langkah-langkah ada mekanisme prosedur yang kemudian seseorang itu mendapatkan layanan kesehatan," ujarnya.
Meski demikian ia menilai bahwa sebenarnya relaksasi yang dilakukan pemerintah sebenarnya merupakan kebijakan yang sudah tepat. Hal ini dilakukan pemerintah dikarenakan adanya tekanan ekonomi.
"Kalau dari aspek-aspek ini kebijakannya sendiri ya sudah tepat gitu karena pemerintah sendiri kan memang istilahnya itu tidak mampu untuk memberikan istilahnya kebutuhan dasar pada masyarakat kan dengan masyarakat mengurangi mobilitas yaitu masalahnya di situ. Jadi karena pemerintah tidak mampu maka pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan sifatnya relaksasi pelonggaran-pelonggaran," tuturnya.
Percepat Program Vaksin Booster
Dr. Trubus mengatakan program booster ini segera direalisasikan untuk mengantisipasi terjadinya third wave di Indonesia.
"Terbukti bahwa vaksin Sinovac itu atau vaksin Sinopharm itu kan memiliki tingkat efikasi selama 6 bulan itu setelah 6 bulan efikasinya menurun drastis. Jadi karena itu perlu ada kebijakan booster segera," katanya.
Edukasi Protokol Kesehatan
Trubus juga mengatakan pemerintah harus mendorong terutama pusat-pusat daerah untuk kolaborasi secara sinergis lagi untuk mengedukasi masyarakat dengan protokol kesehatan.
"Menurut saya untuk dikatakan transisi endemik sebenarnya belum tepat itu," ujarnya.
Terobosan pemerintah saat ini untuk mengatakan Indonesia pada masa transmisi endemik membuatnya merasa khawatir lantaran situasi di Indonesia masih abu-abu.
"Saya agak ngeri-ngeri sedap begitu pemerintah mengeluarkan transisi endemik padahal dalam situasi seperti ini tentu harus ada berbagai solusi, terobosan, kemudian persoalannya di bagaimana kesadaran masyarakat kan gitu ya," ujarnya.
Insentif dari Pemerintah
Dicky Budiman mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia bisa mencontoh pemerintahan di luar negeri dimana masyarakat yang tidak berlibur keluar kota mendapatkan insentif dari pemerintah
"Di Australia tuh begitu, ngasih insentif kalau kamu kesini perginya ke tempat yang aman kamu mendapatkan diskon lebih gede, baik tiketnya ataupun hotelnya atau di dalam kotanya," ujar Dicky.
Lebih lanjut ia mengatakan diskon yang didapat masyarakat ini merupakan hasil subsidi dari Pemerintah.
"Saya enggak tahu di dalam konteks ini pola serupa bisa enggak, tapi kurang lebih seperti itu. Ada insentif yang membuat orang berpikir semakin jauh semakin berisiko," ujarnya.
Ia menambahkan semakin jauh orang berpergian makan akan semakin berisiko serta semakin padat sebuah tempat atau lokasi juga akan semakin tinggi risikonya.
Reporter Magang: Leony Darmawan
Baca juga:
Epidemiolog: Pandemi Covid-19 Terkendali, Tapi Risiko Kasus Aktif Masih Tinggi
3,3 Miliar Penduduk Bumi Sudah Disuntik Vaksin Covid-19
BPOM Dampingi 15 Penelitian Obat Herbal untuk Terapi Pasien Covid-19
Satgas Catat Kota Bogor Nol Penambahan Kasus Covid-19
Selandia Baru Akan Wajibkan Dokter dan Guru Divaksin Covid-19