Gara-gara kasus '65, aktivis HAM minta Jokowi copot Menhan Ryamizard
Ryamizard sebut simposium 1965 membangkitkan paham komunis.
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi agar memberhentikan Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Ryamizard Ryacudu. Ryamizard dinilai berkinerja buruk khususnya soal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Para penggiat HAM ini, menilai Ryamizard sebagai menteri kontra produktif untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Hal itu terkait dengan beberapa pernyataannya yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Beberapa kali Menhan (Ryamizard) menyatakan yang menggelar Simposium 65 tersebut akan membangkitkan kembali ideologi komunis di Indonesia. Ini kan kontra produktif. Padahal Simposium itu yang menyelenggarakan Lemhannas dan Menko Polhukam," kata aktivis Kontras, Usman Hamid pada acara penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, tugas kebangsaan yang harus dituntaskan di Kekini Ruang Bersama, Jalan Cikini Raya No. 43, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (29/5).
Menurutnya, bahwa sikap Ryamizard yang seakan menolak untuk melakukan rekonsiliasi antara korban dengan negara yang harus membongkar kebenaran pada peristiwa 65 dan pelanggaran HAM masa lalu lainnya. Ryamizard juga dianggap tidak menjalankan janji kampanye Jokowi dan juga program Nawacita dibawa oleh pemerintah ketika menginginkan untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Jika sudah tidak sejalan lagi, maka presiden harus tegas untuk mencopot Ryamizard. Ini kan sudah tidak sesuai dengan konsep Nawacita yang terus digadang oleh Presiden Jokowi," tutur dia.
Pada kesempatan yang sama, rohaniawan sekaligus tokoh sosial Romo Beni menegaskan tidak ada komunis gaya baru.
"Musuh kita bukan masa lalu, tapi ketidakadilan bangsa ini hidup dalam beban masa lalu, saatnya kita membangun peradaban baru, melihat era baru," tegas Beni.
Beni menambahkan, ini kesempatan pelurusan sejarah pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu dan juga untuk mengetahui ada apa di balik itu semua.
"Pengungkapan tragedi 65 itu harus diperjelas apakah itu murni perebutan kekuasaan, pergantuan rezim atau gerakan masyarakat yang di provokasi, atau perebutan kekuasaan yang ditambah provokasi," ujar dia.
Menurut Beni, sejarah selalu dinilai secara sepihak, ini bahaya. Dan belum tentu benar, pengungkapan sejarah itu awal sebuah peradaban, jika bangsa mau mengungkapkan masa lalu.
"Ini alasan para menteri tak satu visi, kalau menteri tak satu visi- ya cabut (copot) saja, presiden tak boleh lemah, karena presiden panglima tertinggi," tegasnya.