Hari Moekti, dari seorang rocker jadi dai
Bagi Hari Moekti kini hanya satu kata, "dakwah."
Pria itu kini lebih senang mengenakan baju gamis sampai sepanjang mata kaki dengan sorban melilit peci. Dia juga kerap menggantungkan sebuah syal di lehernya. Dia memilih bergaya ala dai. Penampilannya memang lebih sederhana ketimbang dulu.
Namanya Hariadi Wibowo. Jika disebut nama itu, pasti banyak orang tidak kenal. Biasa saja. Beda jika nama Hari Moekti disebut, tentu Anda pasti paham siapa dia. Minimal kenal nama.
Buat mereka yang menghabiskan masa remaja pada rentang 1980 sampai 1990-an, tentu sosok Hari Moekti tidak asing. Beragam ungkapan bisa bermunculan. "Oh itu sih idola saya waktu remaja," atau "itu penyanyi lagu Ada Kamu yang ngetop waktu saya muda," lainnya berkata, "Lagunya yang Ada Satu Kata enak tuh. Kenangan waktu masa pacaran dulu."
Hari Moekti muda memang beruntung. Pria asal Cimahi, Jawa Barat, itu bisa meraup pundi-pundi rupiah dari dunia hiburan tanah air lewat menjual suara. Namanya melambung di jagat belantika musik nasional, berkat kemampuannya dalam tarik suara dan tembangnya dan kerap bercokol di puncak tangga lagu.
Meski teknik olah vokalnya tidak hebat-hebat amat, tapi warna suara khas mampu melengking dipadu lirik lagu sederhana dan aransemen ringan membikin tembangnya amat digilai banyak pemuda saat itu.
"Adududududududuh..
Kau tak percaya
Adududududududuh
Mengapa ku cinta
Untuk kamu belahlah dadaku
Ini saja...,"
Begitu sepotong bait lagu Ada Kamu milik Hari Moekti. Siapa sih tidak kenal tembang lawas itu. Bagian reff-nya yang unik membuat lagu itu melejit dan terjual ribuan kopi. Duit pun mengalir.
Tidak hanya mampu memikat lewat lagu, Hari Moekti juga membius kawula muda saat itu dengan gaya enerjik di atas panggung. Dandanannya sebagai seorang penyanyi rock pun digemari banyak remaja. Jaket kulit atau rompi, sarung tangan, celana kulit ketat atau jins dengan sobekan di sana-sini menjadi pakemnya. Tak lupa tatanan rambut serta make up layaknya rocker pun dia lakoni.
Hal itu pun ditiru habis-habisan dan menjadi pakem dalam pergaulan remaja saat itu. Tak lengkap rasanya para kawula muda jalan-jalan sore dan nongkrong di Lintas Melawai tanpa berdandan dan berlagak layaknya Hari Moekti. Apalagi ada istilah saat itu, 'biar memble yang penting kece.'
Saat itu, Hari Moekti boleh dibilang bergelimang harta. Bayarannya sekali manggung bisa mencapai Rp 50 juta. Sangat besar buat ukuran masa itu. Dia menjadi mesin uang baru bagi perusahaan rekaman, promotor pagelaran, dan para pengusaha pakaian. Jualan mereka laris manis. Koceknya pun makin tebal. Dalam sekejap kehidupannya berubah.
Namun, meski berduit banyak, Hari Moekti mulai merasakan kejamnya persaingan dunia hiburan. Ketenaran mulai merasukinya. Hari yang merasakan puncak popularitas mulai hilang arah. Buat dia, tidak boleh ada bintang lain yang menyalip kharismanya, termasuk soal honor dan harta.
Mati-matian Hari berjuang mempertahankan karir keartisannya. Hidupnya tidak tenang, karena dihantui pemikiran jika dia sudah tak laku lagi jadi artis.
Di awal 1990-an, kegamangan dan kegalauan Hari Moekti terjawab sedikit demi sedikit. Dia mulai mendekati banyak ustad dan mulai mengaji. Saat itu, pikirannya mulai terbuka, hatinya terketuk. Dia tersadar pekerjaannya selama ini memang membuat terlena, meski belum tentu berdosa. Bahkan tak jarang membuat manusia berpaling dari Tuhan, dan lebih menuhankan dunia.
Hari berpikir ternyata selama ini apa yang dia lakoni justru merusak sendi-sendi Islam, dan itu terselip dalam tembang-tembangnya yang digemari remaja. Dia merasa menjadi idola tidak membuat kehidupannya dan para penggemarnya lebih baik. Itu cuma sesaat. Perasaan bersalah dan penyesalan mulai tumbuh, tapi bukan benci.
Kehidupan Hari Moekti saat ini berubah 180 derajat. Dia tanggalkan semua ketenaran, tepuk tangan, kemeriahan panggung, keglamoran, dan semua bunga-bunga dunia hiburan. Dia mantap menjejak di jalan dakwah. Memilih menjadi da'i di sisa hidupnya, mempersembahkan seluruh tenaga dan kemampuannya menjayakan Islam. Toh nama besarnya tidak tenggelam begitu saja.
Dia tetap bangga menyandang nama panggung Hari Moekti dalam berdakwah, ditambah kata Ustad di depannya. Kharismya di atas panggung tetap tak berubah. Sama-sama pegang mikrofon. Hanya bedanya dulu Hari sembari tarik suara, kini kerap membasahi bibirnya dengan lafaz Illahi.
Kini tak ada lagi petikan gitar, hentakan dan pukulan drum, betotan senar bass, dan lengkingan suara Hari Moekti. Semua diganti dengan lantunan Asma Allah SWT dan Shalawat Nabi Muhammad SAW, pun menuntun Hari Moekti bergabung dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia.
Kini Hari merasa sudah menemukan kebahagiaan sejati. Apalagi, kini di sisa hidupnya seorang muslimah setia mendampinginya, dan dia pun kini telah dikaruniai dua anak. Cukup satu kata, "dakwah".