IDI Ingatkan Jokowi: Pengelolaan Sistem Kesehatan Jangan Setengah-setengah
"Benar apa yang disampaikan Presiden Jokowi, tetapi baru masuk di kuratif. Padahal kalau bahas ini harus lengkap,"
Wakil Ketua Umum IDI Slamet Budiarto mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pengelolaan sektor sistem kesehatan yang belum maksimal. Menurutnya, masalah ini harus dibahas tuntas secara lengkap menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Menurutnya, apa yang disampaikan Presiden Jokowi baru menyasar pada kuratif meliputi fasilitas kesehatan, rasio tenaga medis dan bahan baku obat.
-
Apa yang Jokowi khawatirkan mengenai peralatan kesehatan di daerah? "Jangan sampai peralatan yang tadi sudah sampe di kabupaten/kota, sudah sampe di provinsi tidak berguna gara-gara dokter spesialisnya yang tidak ada," sambungnya.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Apa yang menjadi sorotan utama Presiden Jokowi tentang pangan di Indonesia? Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah menyoroti permasalahan pangan di Indonesia, bahwa permintaan selalu meningkat karena populasi yang terus bertambah.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Apa yang menjadi fokus pembahasan dalam rapat khusus Presiden Jokowi? Presiden akan mengadakan rapat internal besok (hari ini) mengenai ini dan tentu kita akan mempersiapkan langkah-langkah
"Benar apa yang disampaikan Presiden Jokowi, tetapi baru masuk di kuratif. Padahal kalau bahas ini harus lengkap. Dengan komprehensif dari Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif. Jangan setengah-setengah membahasnya," ujar Slamet saat dihubungi merdeka.com, Jumat (1/5).
Dia menjelaskan, promotif adalah sistem kesehatan dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi ke masyarakat, preventif tindakan pencegahan medis, kuratif yakni tindakan pengobatan, dan rehabilitatif perawatan sampai sembuh.
"Nah sistem kesehatan Indonesia saat ini lebih fokus ke kuratif. Padahal tindakan promotif dan preventif itu, sesungguhnya 80 persen bisa meningkatkan kesehatan sedangkan kuratif hanya 20 persen. Tapi dengan syarat promotif dan preventif berjalan dengan baik," ujarnya.
Promotif dan preventif tidak berjalan dengan optimal, kata Slamet, karena saat ini tempat kesehatan berlomba-lomba untuk mengejar kuratif. Dia menyebutkan seperti halnya puskesmas saat ini yang mengejar pengobatan, karena adanya BPJS.
"Mengapa itu terjadi, karena semua berlomba-lomba untuk melakukan kuratif. Yang padahal sistem promotif, preventif itu tugasnya puskesmas sebagai garda terdepan sesuai tujuan awal dibentuknya. Kalau dilihat sekarang, ditambah adanya BPJS puskesmas menjadi kuratif. Apalagi saat corona makin tambah tindakan penanganannya," terangnya.
"Akibatnya apa, tingkat harapan hidup kita minim, TBC dan stunting kita sangat tinggi di dunia. Karena, kita fokus ke pengobatan dan minim sosialisasi pencegahan," sambungnya.
Oleh sebab itu, dia berharap kepada Presiden Jokowi supaya menuntaskan sistem kesehatan secara menyeluruh dan tepat, terlebih di tengah pandemi virus corona saat ini.
"Kalau semuanya diselesaikan secara lengkap, mulai dari promotif, preventif tugas utamanya puskesmas dan garda-garda terdepan. Kuratif dan rehabilitatif itu rumah sakit, pasti angka hidup tinggi, penyebaran TBC menurun dan lain-lain. Tetapi, ini bisa dikecualikan untuk daerah-daerah terpencil yang bisa melakukan tindakan kuratif," jelasnya.
Subsidi Pajak Fasilitas Kesehatan
Sementara itu, Slamet menyoroti keinginan Presiden Jokowi jika ingin mengoptimalkan fasilitas kesehatan. Sebaiknya pemerintah memberikan subsidi terhadap pajak fasilitas kesehatan.
"Kalau ingin mengoptimalkan fasilitas kesehatan, pertama bisa berikan subsidi kepada rumah sakit, klinik seperti pajak bangunan, pembayaran listrik, air dan lain-lain. Mengapa, karena ini bergerak pada sosial, jangan samakan dengan bidang industri komersil lainnya," tuturnya.
Selain tempat kesehatan, dia juga menyoroti alat kesehatan yang dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBM). Hal itu yang membuat biaya kesehatan mahal saat diterima masyarakat.
"Seperti ring untuk jantung itu seharusnya harganya hanya jutaan, tetapi pajak yang besar jadi harganya jadi mahal. Jadi kalau ingin mengoptimalkan, bisa zero kan pajak untuk alat kesehatan, termasuk bahan baku obat," sebutnya.
Menurut Slamet, kondisi pajak yang mahal juga diberikan pada bahan baku obat. Di samping minimnya riset-riset yang dilakukan untuk obat-obatan oleh pemerintah.
"Jadi bahan obat benar, kita 95% impor dan itu mahal. Karena kita, belum ada riset untuk produksi sendiri bahan baku. Jadi lebih baik, kita saat ini perdalam riset untuk mengetahui mana yang bisa kita produksi mana yang tidak bisa," imbuhnya.
Perbanyak Kuota Dokter Spesialis
Menurutnya, rasio kekurangan lebih ke dokter spesialis. Oleh sebab itu, dia menyarankan untuk lebih memperbanyak kuota dokter spesialis dari 10 menjadi 20.
"Perbanyak kuota dan perbanyak jalur beasiswa. Selain itu, hampir tenaga medis kita menumpuk di kota-kota besar dan tidak merata penyebarannya," kata dia.
"Mengapa tidak menyebar, karena mereka membayar pendidikan dengan dana pribadi. Wajar kalau mereka bebas memilih tempat semisal di wilayah tinggalnya," sambungnya.
Slamet mengatakan para tenaga medis itu tidak ingin dikirim ke daerah-daerah karena tidak ada jaminan seperti tempat tinggal, tunjangan hidup dan hanya mengandalkan gaji pokok.
"Kan unik, di daerah itu alat-alat kesehatan pada bagus tetapi kekurangan tenaga medis. Artinya mereka mampu dan memiliki biaya, seharusnya itu bisa saling difikirkan untuk tenaga medis," imbaunya.
Kekurangan di Sektor Kesehatan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjelaskan di tengah situasi pandemi Covid-19 bisa menghitung potensi yang dimiliki Indonesia. Mulai yang sudah terkelola hingga belum terkelola secara maksimal.
"Situasi seperti ini kita juga bisa lihat dan hitung lagi potensi dalam negeri yan kita miliki belum terkelola dengan maksimal, yang belum kita bangun dan manfaatkan secara baik," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2020 melalui siaran teleconference di Istana Merdeka, Kamis (30/4).
Dia pun mencontohkan seperti di sektor kesehatan yang belum maksimal. Mulai dari industri farmasi, bahan baku obat.
"Kita saat ini masih impor, 95 persen masih impor. Alat kesehatan ada tidak? Apa yang bisa kita produksi sendiri dan apa yang kita beli dari negara lain. Sekarang kelihatan semua," ungkap Jokowi.
"Lalu tenaga medis, rasio dokter, rasio dokter spesialis, perawat apa cukup menghadapi situasi seperti ini," tambah Jokowi.
Dia juga menjelaskan saat ini Indonesia memiliki berbagai macam persoalan di sektor kesehatan. Ada beberapa penyakit menular berbahaya yang perlu penanganan khusus, seperti TBC.
"Bagaimana ketersediaan RS, fasilitas, tempat tidur cukup enggak. Misal TBC kita nomor tiga yang masih punya memiliki penyakit ini. Tiga besar dunia yang memiliki penderita TBC adalah India, China, dan Indonesia," ungkap Jokowi.
Selanjutnya mengenai rasio tempat tidur berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia kata dia masih minim. Hanya memiliki 1,2 per seribu untuk menampung penduduk.
"Artinya tersedia 1,2 tempat tidur bagi seribu penduduk. Dibanding negara lain kita masih kalah. India 2,7 per 1000. Tiongkok 4,3 per 1000. Tertinggi jepang 13 per 1000," jelas Jokowi.
Kemudian dengan laboratorium, dia meminta Indonesia harus memiliki ketersediaan penelitian hingga sumber daya manusia. Tidak hanya itu, dia juga meminta untuk dihitung seluruh kekurangan yang tidak dimiliki.
"Karena kita lihat pentingnya health security di masa-masa yang akan datang. Kejadian pandemi Covid ini menyadarkan kita betapa pentingnya health security," jelas Jokowi.
(mdk/ray)