Jaksa Agung Minta NU Berperan Tanam Nilai-Nilai Lokal di Rumah Restoratif
Kejaksaan Agung (Kejagung) berkunjung ke markas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Selasa (13/4). Jaksa Agung meminta dukungan PBNU dalam penegakan hukum di tanah air.
Kejaksaan Agung (Kejagung) berkunjung ke markas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Selasa (13/4). Jaksa Agung meminta dukungan PBNU dalam penegakan hukum di tanah air.
Dalam kesempatan ini, Jaksa Agung mengucapkan selamat atas terpilihnya KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026. Jaksa Agung juga memohon dukungan dalam rangka penegakan hukum terutama saat ini sedang melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
-
Apa keunikan Rumah Apung Tambaklorok? Rumah ini menjadi contoh konstruksi rumah di wilayah pasang surut yang anti banjir dan gempa karena bisa mengapung mengikuti tinggi permukaan air.
-
Bagaimana Rumah Rungko dibangun? Rumah Rungko ini dibangun menggunakan kayu pilihan dan proses penebangannya memakan waktu hingga bertahun-tahun. Hal ini disebabkan masyarakat Kluet menggunakan parang untuk menebang pohon. Apabila parang tersebut terjatuh, maka tidak boleh dilanjutkan karena tidak diizinkan oleh Tuhan.
-
Kapan Rumah Apung Tambaklorok diresmikan? Rumah apung ini telah rampung dibangun dan diresmikan pada tahun 2016 silam.
-
Apa fungsi utama Rumah Rungko? Fungsi utama Rumah Rungko didesain cukup tinggi karena menghindari gangguan hewan buas. Hal ini kembali lagi ke kondisi sekitar rumah yang dikelilingi hutan lebat dan berada di pegunungan. Selain itu, ketinggian rumah ini berguna untuk terhindar dari bencana banjir.
-
Kapan Rumah Sakit Pasir Junghuhn didirikan? Menurut keterangan pengelola, bangunan ini berdiri pada 1917 silam dan saat ini usianya mencapai 1 abad lebih.
-
Apa itu Rumah Guguk? Mengutip situs bandung.go.id, petshop tersebut diketahui bernama Rumah Guguk yang buka setiap hari, mulai pukul 10.00 hingga 17.00 WIB.
"Saya juga berharap NU dapat berperan dalam penerapan nilai-nilai lokal di berbagai Rumah Restoratif yang dibentuk seluruh Indonesia sebagai program yang saat ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat," ujar Jaksa Agung, dalam keterangan tertulisnya.
Jaksa Agung didampingi Kepala Biro Umum Ponco Hartanto, Kepala Pusat Penerangan Hukum Ketut Sumedana. Kemudian, Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro Dewanto dan Asisten Umum Jaksa Agung Kuntadi.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf menyampaikan, kunjungan Jaksa Agung RI sangat memiliki makna yang luar biasa dalam rangka menjalin kerjasama antara NU dengan Kejaksaan RI.
Terutama pembinaan di bidang hukum bagi sekitar 20.000 pesantren-pesantren dan madrasah yang dimiliki oleh NU di seluruh Indonesia. Dimana membutuhkan pencerahan di bidang hukum dengan menggalakkan program Jaksa Masuk Pesantren.
Selanjutnya, Jaksa Agung RI dengan Ketua Umum PBNU bersepakat untuk menindaklanjuti pertemuan tersebut dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) sehingga terjalin kerjasama yang erat dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum di masyarakat.
Kunjungan silaturahmi antara Jaksa Agung RI dengan Ketua Umum PBNU dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah penyebaran virus Covid-19.
Apa itu Rumah Restorative?
Jaksa Agung ST Burhanuddin membuat program rumah restorative justice atau keadilan restoratif di beberapa Kejaksaan Negeri sejak Rabu (16/3) lalu. Program tersebut dinilai sebagai pemecah permasalahan hukum yang kerap terjadi di Tanah Air.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kajati Kalsel) Mukri mengatakan, rumah restorative justice memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan.
"Dari 13 daerah, saya minta tiap kabupaten dan kota minimal ada tiga rumah restorative justice untuk segera dibangun," kata Mukri, dikutip dari Antara, Senin (4/4).
Dia menyatakan, keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan. Sehingga, sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan.
Dia menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan. Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan.
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Keadilan restoratif bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000, tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Adapun lima perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kedua, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal. Ketiga, tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi.
Contoh Kasus
Armiadi bin Rusli kini bisa bernafas lega. Buruh harian lepas di Dinas Pariwisata Kota Sabang, ini tak jadi duduk di kursi persidangan. Hal itu setelah Kejari Sabang menghentikan penuntutan perkara pencurian mesin tempel perahu boat dilakukan Armiadi. Kasus itu disetop setelah Jaksa mengedepankan keadilan restoratif terkait perkara pencurian tersebut.
Ada beberapa pertimbangan Jaksa menghentikan penuntutan terhadap Armiadi. Pertama tersangka belum pernah melakukan tindak kejahatan. Pencurian dilakukan Armiadi juga dilakukan untuk biaya pengobatan ibunya. Pertimbangan lainnya kasus yang menjerat Armiadi merupakan perkara ringan dengan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sabang juga telah melakukan upaya mediasi antara tersangka dan korban. Akhirnya pihak korban bersedia berdamai dan memaafkan tersangka. Penuntutan perkara tersebut akhirnya dihentikan.
Upaya keadilan restoratif juga dipertimbangkan saat menangani perkara korupsi memiliki nilai kerugian relatif kecil atau di bawah Rp50 juta. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menilai perkara korupsi di bawah Rp50 juta adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.
Dia mencontohkan perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan daerah kepulauan. Menurut dia, proses pemeriksaan dan persidangan di daerah yang harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi memakan biaya operasional tinggi namun tak sesuai dengan kerugian negara hendak diselamatkan.
"Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat," kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema 'Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?' yang dipantau melalui zoom meeting di Jakarta, Selasa (8/3).
Dia menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
"Setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia," ujarnya.
(mdk/rnd)