Jaksa KPK sebut kongkalikong penganggaran e-KTP belum diurai hakim
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan pertimbangan majelis hakim terhadap vonis dua terdakwa korupsi proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto. Jaksa menilai persekongkolan jahat terhadap pembahasan anggaran e-KTP belum diuraikan oleh majelis hakim.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan pertimbangan majelis hakim terhadap vonis dua terdakwa korupsi proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto. Jaksa menilai persekongkolan jahat terhadap pembahasan anggaran e-KTP belum diuraikan oleh majelis hakim.
Jaksa penuntut umum KPK, Irene Putri menuturkan, setidaknya fakta persidangan yang disusun oleh tim jaksa tidak terpenuhi seutuhnya oleh pertimbangan majelis hakim.
"Kalau misalnya hakim sudah meyakini sejak proses penganggaran (terjadi persekongkolan jahat) maka harusnya ada fakta-fakta yang kemudian juga sebagaimana tuntutan kita bagaimana kita uraikan fakta-fakta korupsi dan kolusinya sejak penganggaran," kata Irene seusai sidang vonis dua terdakwa di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/7).
Dalam pertimbangan, adanya penerimaan uang oleh tiga anggota DPR; Markus Nari, Miryam S Haryani, dan Ade Komarudin, majelis hakim menjadikan fakta persidangan adanya pembagian uang ke anggota DPR yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim terhadap vonis yang dibacakan hari ini.
Sementara peran Setya Novanto dalam proses kongkalikong pembahasan anggaran, majelis hakim tidak menyebut nama ketua fraksi Golkar saat itu.
"Itu yang menurut kami belum diuraikan," sambungnya.
Pada persidangan sebelumnya, terdakwa Irman mengatakan Andi Narogong, pengusaha sekaligus tersangka dalam kasus ini, pernah mengajaknya ke ruang kerja Setya Novanto di lantai 12 gedung DPR. Tujuannya guna meyakinkan dirinya agar proses pembahasan serta penganggaran untuk proyek senilai Rp 5,9 triliun itu berjalan lancar.
"Pak Nov gimana nih anggaran biar Pak Irman enggak ragu-ragu," kata Irman menirukan percakapan Andi ke Setya Novanto, saat menjalani sidang pemeriksaan terdakwa.
"Ini sedang kita koordinasikan. Perkembangannya nanti dengan Andi," tukasnya.
Fakta persidangan itu juga dipertimbangan majelis hakim.
"Terdakwa I (Irman) kembali menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di lantai 12. Andi meminta kepastian kesediaan anggaran. Setya Novanto bilang dia akan koordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya," kata hakim anggota Anwar.
Kini dua terdakwa telah divonis, Irman tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan Sugiharto lima tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Keduanya juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara akibat perbuatan mereka.
Irman diwajibkan membayar USD 273.700, Rp 2 miliar, dan SGD 6.000. Apabila jumlah uang yang ditentukan tidak mampu dibayar satu bulan setelah status hukum berkekuatan tetap maka aset miliknya akan disita sesuai dengan jumlah yang diwajibkan. Jika aset miliknya tidak terpenuhi dari jumlah uang yang diwajibkan, mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri itu diharuskan jalani pidana penjara selama dua tahun.
Untuk Sugiharto, diwajibkan membayar pidana tambahan Rp 500 juta. Sama halnya dengan Irman, aset mantan pejabat pembuat komitmen itu akan disita jika tidak mampu membayar uang yang sudah ditentukan. Jika aset tidak mencukupi, maka Sugiharto diwajibkan jalani pidana penjara 1 tahun.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim pun menggunakan Pasal 3 ayat 1 huruf a Undang-Undang Tipikor Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001, sebagai dakwaan alternatif kedua.
Baca juga:
Markus Nari minta Rp 5 M dari proyek e-KTP, tetapi diberi Rp 4 M
Terbukti korupsi, dua terdakwa kasus e-KTP divonis 7 dan 5 tahun bui
KPK belum mau bicara penahanan Setya Novanto
Hakim sebut Miryam dan Ade Komarudin terbukti terima duit e-KTP
2 Terdakwa kasus e-KTP divonis 7 & 5 tahun bui dan 'dimiskinkan'
Romahurmuziy prihatin Ketua DPR Setya Novanto jadi tersangka e-KTP
Dua terdakwa korupsi e-KTP hadapi vonis majelis hakim hari ini
-
Kapan korban melapor kasus KDRT? Laporan yang dilayangkan korban pada 7 Agustus 2023 lalu telah diterima Unit PPA Polres Metro Bekasi dan masih dalam proses penyelidikan.
-
Apa arti KPPS? KPPS adalah singkatan dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Ini merupakan organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara dalam Pemilu di Indonesia.
-
Kapan Ganjar Pranowo berencana menerapkan KTP Sakti? Oleh karena itu, saat terpilih menjadi Presiden Ganjar langsung menerapkan KTP Sakti ini.“Sebenarnya awal dari KTP elektronik dibuat. Maka tugas kita dan saya mengkonsolidasikan agar rakyat jauh lebih mudah menggunakan identitas tunggalnya,” tutup Ganjar.
-
Apa yang dimaksud dengan KDRT? Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Indonesia. KDRT dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, atau ekonomi yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya.
-
Apa itu KTP Sakti yang dimaksud Ganjar Pranowo? Ganjar menyebut KTP Sakti ini mengacu dari KTP elektronik yang sudah diterapkan saat ini Ganjar Jelaskan Manfaat KTP Sakti, Rakyat Bisa Akses Semua Bantuan Hanya dengan Satu Kartu Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo bakal menerapkan sistem ‘Satu Data Indonesia’ bagi masyarakat Indonesia jika terpilih menjadi Presiden 2024. Adapun program kerja itu melalui KTP Sakti.
-
Kenapa Kementerian Perhubungan dan KNKT meneliti rangka eSAF? Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bersama dengan Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat mengatakan bahwa masyarakat diimbau untuk tidak terlalu khawatir terkait masalah rangka enhanced Smart Architecture Frame (eSAF) sepeda motor Honda."Diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir karena saat ini sedang dalam proses perbaikan tentu untuk mengutamakan kendaraan bermotor yang berkeselamatan ke depannya. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti telah ditindaklanjuti,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Hendro Sugiatno.