'Jangan simpulkan kekerasan pada etnis Rohingya konflik antar-agama'
Masyarakat diminta waspada akan politisasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal terhadap krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Ditakutkan peristiwa ini 'dibumbui' isu agama sehingga bisa berdampak pada persatuan bangsa.
Masyarakat diminta waspada akan politisasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal terhadap krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Ditakutkan peristiwa ini 'dibumbui' isu agama sehingga bisa berdampak pada persatuan bangsa.
"Kita harus bisa mendudukkan persoalan masalah etnis Rohingya ini dengan cermat. Sebenarnya ini kan masalahnya multi konflik atau multi faktor yang sudah lama berkembang. Ada faktor geopolitik, ada faktor sumber daya alam, etnis dan faktor-faktor lainnya," ujar Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Adnan Anwar, Kamis (7/9/2017)
Mantan Wakil Sekjen PBNU ini melihat masalah konflik etnis Rohingya di Myanmar ini bukanlah konflik agama. "Jangan serta merta disimpulkan menjadi konflik antar-agama. Masalah ini harus didudukkan yang sebenarnya," tuturnya.
Menurutnya, adanya upaya mobilisasi masyarakat muslim dunia termasuk masyarakat di Indonesia yang menyatakan bahwa konflik di Rakhine ini konflik agama. Dia mengimbau masyarakat cerdas sehingga tidak mudah terpancing.
"Dan tentunya itu sangat salah sekali. Masyarakat jangan sampai terprovokasi. Kalau isu masalah agama itu terus dikembangkan bisa-bisa masyarakat kita yang terpecah," katanya.
Dia meminta kepada masyarakat untuk tetap waspada agar tidak mudah diadu domba oleh segelintir kelompok untuk pergi berjihad dengan dalih membantu etnis muslim Rohingnya.
"Saya kira itu juga tidak relevan. Lalu di sini membikin aksi untuk menyerang agama tertentu. Bahkan melakukan demonstrasi di Candi Brobudur. Saya kira itu tidak tepat. Karena sejatinya masalah tersebut bukanlah isu agama," imbuhnya.
Namun demikian dikatakan alumni Hubungan Intenasional Universitas Airlangga Surabaya ini, yang bisa dilakukan masyarakat saat ini yakni melakukan penekanan kepada pemerintah. Karena pemerintah lah yang memiliki hak untuk bersuara di level ASEAN atau kepada PBB untuk menekan pemerintah Myanmar agar aparat militernya tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Langkah lainnya, menurut pria, yang pernah menempuh pendidikan master di Belanda ini dengan membikin solidaritas kemanusiaan melalui donasi penggalangan dana yang bisa dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat.
Oleh karena dirinya kembali menekankan bahwa cara yang lebih santun atau sesuai dengan tata krama yakni dengan mendorong pemerintah atau lembaga-lembaga internasional untuk bertindak agar konflik tersebut dapat segera diselesaikan tanpa ada jatuh korban lebih banyak lagi.
"Jadi harus benar-benar didudukan ke persoalan sesungguhnya dan penegakannya juga harus komprehensif, tidak hanya satu isu itu saja. Pemerintah harus bisa meminta lembaga-lembaga internasional untuk segera menyelesaikannya secara cepat agar tak jatuh korban lebih banyak lagi," tandasnya.