Jawaban Pemerintah Soal Polusi Udara Jakarta, Ujung-ujungnya Solusi Kendaraan Listrik
Polusi udara di Jakarta salah satunya disebabkan emisi karbon kendaraan.
Polusi udara disebabkan emisi karbon kendaraan.
Jawaban Pemerintah Soal Polusi Udara Jakarta, Ujung-ujungnya Solusi Kendaraan Listrik
Kondisi udara Ibu Kota Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Emisi gas yang dihasilkan kendaraan bermotor dan aktivitas industri menyebabkan polusi sampai menutupi langit-langit ibu kota. Berdasarkan data IQair, perusahaan swasta asal Swiss yang bergerak dalam bidang teknologi kualitas udara mencatat, Jakarta menjadi kota paling berpolusi di dunia dengan indeks udara menyentuh angka 172.
- Bicara Soal Polusi, Luhut Ungkap Hasil Uji Emisi di Jakarta
- Delegasi KTT ASEAN Keliling TMII Pakai Kendaraan Listrik, Dukung Jakarta Bebas Polusi
- Atasi Polusi Udara, Ini Hasil Uji Coba Tilang Uji Emisi di 6 Titik Jakarta
- Tekan Polusi Udara, DPRD DKI Desak Uji Emisi Kendaraan jadi Syarat Perpanjangan STNK
Menyikapi hal ini, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro menerangkan, Jakarta bukan satu-satunya kota berpolusi di dunia. Dalam beberapa data dikatakan dia, masih ada negara lain yang terbilang cukup parah. "Ada di Alaska yang terjadi kebakaran hutan 200, dan juga di tempat lain di China 262, 208 India, negara Eropa ada di kota Spanyol 272. Jadi artinya 'framming' bahwa Jakarta itu terpolusi di dunia perlu diluruskan," kata Sigit dalam media briefing mengenai kualitas udara di Jabodetabek, Minggu (13/8).
Sigit membeberkan dalam temuan data sejak tahun 2018 hingga 2023, kualitas udara di Jakarta pada level yang cukup membaik. Terlebih pada saat Pandemi Covid-19 merajalela hingga penjuru dunia. Kualitas udara termasuk di Jakarta dalam kategori sangat baik.
Namun selepasnya, kualitas Jakarta kian memburuk karena adanya peningkatan mobilitas di ibu kota. Di mana penyumbang utamanya hasil pembakaran dari kendaraan bermotor. Lalu diikuti dengan industri energi dari kegiatan komersial di gedung-gedung.
"Sebagian besar di kualitas udara Jakarta dengan polutan utama pada angka PM 2,5, korelasi faktor debu juga memberikan kontribusi indeks kualitas udara di Jakarta," ujarnya.
Sejatinya, konsep keberadaan transportasi itu sendiri adalah bagaimana memperbanyak pemindahan orang, bukan memperbanyak perpindahan kendaraan sehingga efisiensi berkendaraan itu sangat penting. Namun hal itu justru berbalik dengan peningkatan pertumbuhan kendaraan bermotor.
Sigit menyebutkan berdasarkan data yang diperoleh 2018 sampai dengan 2022, pembelian kendaraan bermotor mengalami pertumbuhan cukup pesat di mana setiap tahunnya diperkirakan naik 1,2 juta kendaraan atau sekitar 5,7 persen. Selama itu juga pembuangan emisi kendaraan yang menghasilkan gas karbondioksida terus bertambah, hingga menyebabkan udara di Jakarta layaknya kabut dari asap kendaraan.
"Kalau sepeda motor itu dikendarai dua orang maka dia akan menyebabkan sekitar 7 CO gram per km. Kalau mobil penumpang bensin bersubsidi 5,7, mobil solar 0,4, penumpang mobil 1,71 dan bus 2,3," ucapnya. "Jadi artinya kalau kita naik bus itu kontribusi kita terhadap CO2 itu jauh lebih kecil dibandingkan kalau kita naik sepeda motor, mobil pribadi itu jauh lebih besar sumbangannya terhadap pencemaran," kata Sigit menambahkan.
Terbentuknya Polusi di Jakarta
Dirjen PPKL itu menjelaskan fenomena polusi udara di Jakarta memiliki karakteristik tersendiri, lantaran ibu kota dikenal dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Lalu ditambah dengan banyaknya kendaraan yang melintas. "Karakteristik pencemaran di perkotaan kalau diibaratkan ini adalah angin maka karena ada gedung akan terjadi penghalangan, dan angin itu tidak bisa turun karena ada angin yang berputar," jelas Sigit.
"Kalau terjadi yang di gedung yang menjadi lembah adalah jalannya kemudian yang menjadi penghalang lembah-lembahnya adalah gedung-gedung yang tinggi, maka yang terjadi adalah angin itu tidak bergerak ke mana-mana berputar di mana-mana sehingga ini yang disebut dengan pencemaran dari sini (lembah gedung) yang meningkat sekian kali dari base-nya (permukaan tanah)," lanjutnya.
Atas hal itu menyebabkan adanya konsentrasi pencemaran yang meningkat hingga 10 lipat dari kondisi normalnya. Fenomena itu disebut sebagai street canyon.
Lebih lanjut, fenomena itu juga didukung dengan faktor cuaca yang saat ini Jakarta sedang memasuki musim kemarau dan menyebabkan reaksi berantai. "Reaksi yang berantai masuk selalu dari kendaraan pembakaran fosil. Sehingga yang terjadi adalah siklus seperti ini naik berhenti bergantung pada bahan-bahan proses reaksi ini," beber Sigit. Dia mencontohkan selain kota Jakarta dari fenomena street canyon juga terjadi di Kota Bandung. Secara geografi wilayah Bandung memang terbentuk layaknya sebuah lembah.
Solusi Kualitas Udara di Jakarta
Sigit merinci, sebagai langkah solusi untuk menangani kualitas udara di Jakarta, dalam sebuah kajian ada beberapa rekomendasi untuk memperbaiki hal itu. Di antaranya pengadaan kendaraan operasional listrik, pengetesan standar emisi transport menjadi EURO 4. Lalu pengadaan bus listrik Jakarta, Uji emisi, peralihan dari angkutan pribadi ke umum, konversi ke kompor listrik, pengendalian debu dari konstruksi dan melarang pembakaran sampah terbuka.
Beberapa rekomendasi tersebut sudah ada yang dilaksanakan, salah satunya seperti kebijakan Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono dengan mengadakan transportasi umum kendaraan ke listrik. Dirinya berharap, masyarakat dapat melek akan permasalahan polusi udara di masyarakat khsususnya di Jakarta yang saat ini menjadi permasalahan serius.