JK soal surat Amnesty International: Kita hargai semua pandangan
"Semua negara termasuk AS salah dong karena hukuman mati itu di seluruh Asia masih ada," tegas JK.
Amnesty International menyampaikan surat terbuka tentang eksekusi mati yang akan dijalankan terhadap paling sedikit 11 orang, Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, untuk kejahatan penyalahgunaan narkotika dan pembunuhan.
Terkait hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, apabila Amnesty International menganggap hukuman mati adalah salah, maka hal itu juga berlaku bagi semua negara yang memberlakukan hukuman mati, termasuk Amerika Serikat.
"Berarti semua negara termasuk AS salah dong karena hukuman mati itu di seluruh Asia masih ada. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan termasuk Amerika Serikat," kata JK di kantornya, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (23/2).
JK mengatakan, pemerintah Indonesia menghargai setiap pandangan, termasuk dari Amnesty International. Namun, JK mengingatkan bahwa WNI pun pernah dihukum mati di Arab Saudi.
"Kita hargai semua pandangan. Sama jangan lupa, ada hukuman mati di Saudi, Anda semua protes kan, sama saja," tutur JK.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Amnesty International, Salil Shetty, dalam keterangan persnya, Kamis, menyatakan Amnesty International menentang hukuman mati untuk semua kejahatan tanpa kecuali, sebagai suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup dan merupakan penghukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Dengan melanjutkan eksekusi, Indonesia akan melanggar hukum dan standar HAM internasional. Setidaknya dua dari mereka yang telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, dan standar internasional menetapkan bahwa tidak boleh ada eksekusi sebelum PK tersebut diputuskan.
Amnesty International khawatir beberapa individu yang menghadapi eksekusi tidak memiliki bantuan hukum yang memungkinkan mereka untuk mengajukan upaya hukum PK.
Satu terpidana mati, Warga Negara Brasil Rodrigo Gularte, didiagnosa memiliki masalah skizofrenia paranoid (paranoid schizophrenia) dan gangguan bipolar (bipolar disorder) dengan karakteristik psikotik, gangguan kesehatan yang terjadi semakin memburuk saat ia menghadapi eksekusi mati.
Hukum internasional melarang penggunaan hukuman mati terhadap mereka yang memiliki gangguan mental atau pikiran.
"Kami menyambut laporan terbaru bahwa pemerintah Indonesia akan meninjau ulang kasus Gularte dan bahwa ia mungkin tidak akan dieksekusi jika ia diketahui memiliki gangguan mental," katanya.
Amnesty International juga khawatir tentang niatan pemerintah Indonesia menolak permohonan grasi apa pun yang diajukan terpidana mati untuk kasus terkait penyalahgunaan narkotika.
"Ini meremehkan hak individu untuk memohon pengampunan atau pengurangan hukuman, yang jelas tercantum pada Pasal 14 Konstitusi Indonesia dan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia merupakan negara anggota," katanya.
Pelaksanaan eksekusi mati ditampilkan sebagai respons terhadap kejahatan, termasuk kejahatan narkotika. Namun, kejahatan narkotika tidak memenuhi syarat sebagai "kejahatan paling serius" yang bisa diterapkan dengan hukuman mati menurut ICCPR.
Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkan hukuman mati mencegah kejahatan lebih efektif dibanding dengan penggunaan hukuman-hukuman yang lainnya.
Sebuah studi komprehensif yang dilakukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hubungan hukuman mati dan tingkat kejahatan pembunuhan menyimpulkan bahwa penelitian tersebut gagal menunjukkan suatu bukti ilmiah hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar ketimbang hukuman penjara seumur hidup.
Sebagaimana PBB dan badan-badan lainnya menyatakan, memerangi kejahatan serius dan ketidakamanan memerlukan investasi dalam penegakan hukum yang efektif dan sistem peradilan pidana.
Masyarakat harus memiliki keyakinan bahwa para pejabat penegak hukum terlatih dan diperlengkapi untuk menyelidiki tindak pidana, tanpa melanggar hak asasi manusia, dan bahwa sistem peradilan adalah independen, adil, dan objektif.
Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan rencana mengeksekusi 11 orang, dan mengevaluasi semua kasus dengan pandangan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman pemenjaraan, selain menetapkan moratorium eksekusi dengan pandangan untuk menghapuskan hukuman mati sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB.
Selain itu juga merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan semua pasal-pasal yang relevan dalam perundang-undangan di Indonesia yang memiliki ketentuan hukuman mati untuk menghapus semua ketentuan tersebut.
Baca juga:
JK: Kumpul koin untuk Australia bentuk emosi masyarakat
Jelang eksekusi mati, WN Filipina Mary Jane pasrah
Terpidana mati Mary Jane didatangi keluarga dan 2 anaknya di Lapas
JK: Kalau bantuan Australia bukan kemanusiaan, kita kembalikan saja
DPR minta PM Australia sadar diri & berhenti recoki Indonesia
Krematorium Banyumas siap jadi tempat kremasi jasad terpidana mati
Ungkit bantuan tsunami Aceh, Tony Abbott mengusik rakyat Indonesia
-
Bagaimana Jusuf Kalla menilai dampak dari hukuman terhadap BUMN yang rugi? Kalau suatu kebijakan bisnis, langkah bisnis rugi cuma dua kemungkinannya, dia untung, dan rugi. Kalau semua perusahaan rugi, maka seluruh BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya, kalau satu perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," ujar JK.
-
Kenapa Ridwan Kamil menemui Jusuf Kalla? “Beliau kan orang pintar ya dan penuh dengan pengalaman, arif, bijaksana. Sehingga saya perlu mendapatkan arahan, wejangannya dari beliau,” sambungnya.
-
Mengapa Jusuf Kalla bingung dengan penetapan Karen Agustiawan sebagai terdakwa? Saya juga bingung kenapa dia jadi terdakwa, bingung karena dia menjalankan tugasnya," kata JK.
-
Kenapa karmin kontroversial? Meskipun dibuat dari bahan alami, namun pewarna karmin tidak lepas dari kontroversi.
-
Siapa yang Jusuf Kalla kritik terkait hukuman pidana dalam kesalahan strategi bisnis? Pasalnya, ada berbagai faktor yang menentukan kerugian dalam korporasi, bukan hanya semata-mata kesalahan strategi. "Direksi boleh mengambil keputusan karena korporasi ada tiga bagian, yakni direksi, komisaris dan pemegang saham. Sepanjang direksi diketahui dan disetujui oleh dua organ lainnya maka itu bukan pidana jika melihat dari sisi hukum korporasi atau perseroan terbatas," kata Dosen Hukum Universitas Indonesia Fully Handayani Ridwan dalam keterangannya, Rabu (22/5).
-
Apa yang dikritik oleh Jusuf Kalla terkait hukuman pidana dalam kesalahan strategi bisnis? Pasalnya, ada berbagai faktor yang menentukan kerugian dalam korporasi, bukan hanya semata-mata kesalahan strategi. "Direksi boleh mengambil keputusan karena korporasi ada tiga bagian, yakni direksi, komisaris dan pemegang saham. Sepanjang direksi diketahui dan disetujui oleh dua organ lainnya maka itu bukan pidana jika melihat dari sisi hukum korporasi atau perseroan terbatas," kata Dosen Hukum Universitas Indonesia Fully Handayani Ridwan dalam keterangannya, Rabu (22/5).