Jokowi diminta tegas soal BLBI meskipun menyeret Megawati
"Megawati menerbitkan SKL pada obligator utang Rp 8,9 Triliunan ini ada kepentingan apa? ," ujar Yenny Sucipto.
Presiden Joko Widodo diminta mengambil sikap tegas terkait penuntasan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mangkrak semenjak mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan surat 'sakti' Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap lima pengusaha yang diduga mengemplang dana talangan pemerintah tersebut. Ke depan Presiden Jokowi diminta menindaklanjuti surat sakti terbitan Megawati tersebut.
"Yang kita inginkan dari Presiden Jokowi sikap tegas karena selama ini kan statement-statementnya tidak tegas dalam penegakan hukum," kata Sekretariat Nasional Fitra, Yenny Sucipto di Kantor Seknas Fitra Jalan Mampang Prapatan IV Jalan K Nomor 37, Jakarta Selatan, Minggu (1/3).
Menurutnya, penerbitan surat sakti yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 saat Presiden Megawati dan Ketetapan MPR Nomor 6 dan 10 terlihat janggal. Menurut Fitra ada kepentingan terselubung Ketua Umum PDIP itu mengeluarkan SKL tersebut.
"Megawati menerbitkan SKL pada obligator utang Rp 8,9 Triliunan ini ada kepentingan apa? Didominasi kepentingan partai politik apa obligasi. Ini ironis mengeluarkan Inpres. Obligator mencuri obligasi kita tiba-tiba dilepas gitu saja. Lima obligator ini harus dikawal untuk dituntaskan," ujarnya.
Lanjut Yenny, catatan pihaknya hasil dari Audit Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 34G/XII/11/2006, dalam rapat dengan pendapat Bank Indonesia pada 2008, lima obligator yang kini statusnya tak jelas masih mempunyai utang yang harus dikembalikan kepada negara sekitar RP 89,87 Triliun. Dana sebesar itu termasuk utang pemegang saham Bak Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, yang mencapai sekitar Rp 28,4 Triliun.
"Itu mengenai 5 obligator yang mempunyai utang Rp 8,9 miliar ini," tandasnya.
Dalam kasus ini KPK sudah meminta keterangan beberapa mantan pejabat dalam kasus ini. Mereka adalah Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menteri Koordinator Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, eks Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, serta mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (saat ini menjabat Menteri BUMN) Rini Mariani Soemarno.
KPK mulai bergerak mengusut dugaan penyimpangan SKL BLBI pada 2008 saat masih di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Saat itu, lembaga antirasuah membentuk empat tim khusus buat menyelesaikan kasus BLBI, sebelumnya mentok saat ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Kasus ini ditelusuri selepas operasi tangkap tangan kasus suap dari pengusaha Artalyta Suryani alias Ayin terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan. Saat itu, Ayin menyogok Urip supaya menghentikan penyidikan oleh Kejaksaan Agung soal adanya dugaan penyimpangan dalam penerbitan SKL Sjamsul, dibayar dengan aset-aset bodong.
Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan Kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, mempunyai utang sebesar Rp 28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp 19,38 triliun, dari Rp 52,72 triliun yang harus dibayar.
Meski demikian, pemerintah justru mengampuni beberapa pengutang lewat penerbitan SKL. Lewat mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati dan Ketetapan (Tap) MPR Nomor Nomor 6 dan 10 para pengemplang uang itu terbebas dari jeratan hukumnya.
Namun setelah sekian mangkrak, KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad dan wakilnya Bambang Widjojanto membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. Bahkan ketika penyelidikan kembali baru dimulai KPK menyatakan akan memanggil Megawati terkait perannya mengeluarkan SKL dalam kasus tersebut.