Kasus SKL BLBI, KPK gandeng CPIB buat panggil Sjamsul Nursalim
Kasus SKL BLBI, KPK gandeng CPIB buat panggil Sjamsul Nursalim. Namun hal tersebut dirasa tidak dapat membuahkan hasil positif karena terbentur adanya perjanjian ekstradisi yang belum ratifikasi dari pemerintah Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini terus mengupayakan kehadiran Sjamsul Nursalim ke Indonesia yang saat ini di Singapura guna menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Salah satu upaya yang diambil KPK adalah bekerjasama dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), lembaga sejenis KPK di Singapura.
Namun hal tersebut dirasa tidak dapat membuahkan hasil positif karena terbentur adanya perjanjian ekstradisi yang belum ratifikasi dari pemerintah Indonesia. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan sejauh ini pihaknya masih mengambil upaya persuasif kepada Sjamsul, pemilik saham terbesar Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
"Sjamsul Nursalim dan Itjih Mursalim baru dipanggil satu kali. Nanti akan kita lakukan pemanggilan kembali, kita harap yang bersangkutan mematuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan menunjukkan sikap kooperatif," ujar Febri saat ditanya mengenai upaya KPK menghadirkan Sjamsul menjalani pemeriksaan sebagai saksi dengan tersangka Syafruddin, Rabu (31/5).
Sementara itu, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana menuturkan kerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus ditingkatkan skalanya. Sejumlah pelaku terduga terlibat tindak pidana korupsi selalu mencari negara dimana perjanjian ekstradisi dengan Indonesia belum berjalan dengan baik.
"Kita enggak ada perjanjian ekstradisi, ada perjanjian ekstradisi tetapi belum efektif karena belum ada ratifikasi," kata Hikmahanto kepada merdeka.com melalui sambungan telepon.
Skala yang dimaksudnya adalah skala tingkat Asean, melalui Asean Senior Law Official Meeting, kerja sama antar negara-negara Asean dalam berbagai bidang salah satunya pada sektor hukum. Dia menjelaskan dalam kerja sama antara negara Asean diharapkan upaya KPK dalam menghadirkan pihak-pihak yang dianggap diperlukan guna menuntaskan kasus korupsi yang sedang diproses. Terlebih lagi, imbuhnya, pihak yang dipanggil masih berstatus saksi.
"Kalau misalnya pemanggilan saksi sebenarnya bisa, karena kita kan ada Asean seharusnya bisa jadi nanti banyak timbal balik dari negara-negara Asean," tukasnya.
Kendati demikian, dia juga menyebutkan upaya persuasif dan melibatkan pihak swasta dalam penanganan saksi saksi atau tersangka yang diduga terlibat tindak pidana korupsi perlu dipertimbangkan. Alasannya agar Singapura mau bekerjasama dengan Indonesia tanpa mengeluarkan anggara mereka guna mencari saksi yang sedang dicari, sehingga ekstradisi pun dilakukan.
"Pertama harus dicari tahu dulu orangnya dimana, itu harus pakai deteksi dari swasta. Sudah ketahuan dimana tempatnya kemudian dengan persuasi meyakinkan otoritas SIngapura kita perlu orang itu, kita harus bangun solidaritas Asean. Jangan sampai negara kamu menjadi atau dicap sebagai negara pelarian koruptor," tandasnya.
Diketahui, KPK menetapkan Syafruddin Arsad Temenggung sebagai tersangka atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Selasa (25/4). Syafruddin saat itu menjabat sebagai kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan surat keterangan lunas terhadap obligor BLBI yakni Sjamsul Nursalim, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Dia diketahui mempunyai utang sebesar Rp 28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp 19,38 triliun, dari Rp 52,72 triliun yang harus dibayar.
Meski demikian, pemerintah justru mengampuni beberapa pengutang lewat penerbitan SKL. Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati dan Ketetapan (Tap) MPR Nomor 6 dan 10. Saat itu Megawati mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi buat menerbitkan SKL.
Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.