Kejagung tidak boleh kriminalisasi kasus Grand Indonesia
Kejagung tengah menelusuri dugaan pidana penyalahgunaan aset di kawasan Hotel Indonesia.
Kejaksaan Agung terus mengusut kasus dugaan korupsi perjanjian kerjasama antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) milik BUMN dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) anak usaha Djarum Group. Bahkan, sejumlah pihak termasuk bos dari perusahaan yang ikut dalam proyek tersebut tak luput dari pemeriksaan penyidik.
Namun, sejumlah pihak mempertanyakan keseriusan Kejagung dalam mengusut kasus tersebut. Korps Adhyaksa diminta untuk tidak melakukan kriminalisasi terhadap pihak-pihak tertentu. Termasuk, pihak swasta yang memiliki peran di proyek pembangunan menara BCA dan Apartemen Kempinski tersebut.
"Jika ditemukan pelanggaran, ya diselidiki tetapi jika tidak ada, jangan melakukan kriminalisasi. Sebab hal itu akan menyebabkan pihak swasta tidak mau lagi menjalin kerjasama pengelolaan aset negara, karena takut dikriminalisasi," kata Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah saat dihubungi wartawan, Jakarta, Rabu (23/3).
Nasrullah mengimbau, Kejagung segera menuntaskan kasus itu berdasarkan fakta dan bukti yang kuat. Kejagung juga diminta transparan dan mempublikasikan hasil dari penyidikan.
"Namun jika tidak ditemukan, jangan mencari cari kesalahan dan kemudian menyebut ada pidana," tegas dia.
Dia berharap, Kejagung tidak menjadikan hukum pidana sebagai alat memukul lawan, dalam hal ini pihak swasta yang menjalin kerjasama pengelolaan aset. Sebab, hukum pidana harus ditegakkan dalam kerangka mencari kebenaran materiil.
Dalam kasus ini, negara berpotensi dirugikan triliunan rupiah akibat murahnya sewa dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pengelola Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan Grand Indonesia yaitu PT Grand Indonesia, anak usaha PT Cipta Karya Bumi Indah. Di mana, PT Cipta Karya Bumi ditunjuk sebagai pengelola Hotel Indonesia sejak memenangi tender Build, Operate, Transfer (BOT) Hotel Indonesia pada 2002.
Kerja sama operasi pengelolaan Hotel Indonesia itu diteken PT Hotel Indonesia Natour (HIN) milik BUMN sebagai perwakilan pemerintah, dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia pada 13 Mei 2004. PT Grand Indonesia dibentuk PT Cipta Karya Bumi untuk mengelola bisnis bersama Hotel Indonesia.
Dalam kontrak BOT yang diteken PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)/PT Grand Indonesia (GI), disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI di antaranya:
1. Hotel Bintang 5 (42.815 m2)
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 m2)
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 m2)
4. Fasilitas parkir (175.000 m2)
Namun, dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2009 ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski, di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.
Kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.