Kisah Bung Karno ngamuk dan 'Sinterklas hitam'
Pada 1957, Bung Karno Bung Karno memberi ultimatum kepada orang Belanda dan keturunannya untuk hengkang dari Indonesia.
Natal yang jatuh tiap 25 Desember, merupakan hari yang ditunggu-tunggu umat nasrani. Tak hanya orang dewasa, anak-anak yang masih kecil pun bersuka cita menyambutnya.
Di berbagai negara, Natal biasanya identik dengan Sinterklas. Tokoh yang kerap digambarkan berbaju merah dengan jenggot putih panjang itu biasa membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak saat Natal.
Karenanya, hari Natal dan Sinterklas sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Di era Orde Lama, Presiden Soekarno merupakan sosok yang sangat menyukai anak-anak. Bung Karno bahkan pernah mengundang seorang Sinterklas ke Istana untuk menyenangkan anak-anak yang diundangnya.
Warga Belanda yang masih tinggal di Indonesia saat itu pun kerap menggelar perayaan Sinterklas tiap 5 Desember, atau 20 hari sebelum Natal. Dalam tradisi Belanda, Sinterklas datang dari Spanyol dengan mengendarakan kuda. Hanya saja, di Belanda Sinterklas datang setiap tanggal 5 Desember alih-alih 25 Desember seperti negara lainnya.
Namun, kondisi tiba-tiba 180 derajat berubah. Bung Karno marah dan melarang perayaan Sinterklas digelar pada 5 Desember 1957. Kemarahan Bung Karno itu disebabkan oleh sikap Belanda yang tak mau hengkang dari Irian Barat.
Seperti dikutip dari buku 'Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen' Karya; Walentina Waluyanti de Jonge, kemarahan Bung Karno semakin menjadi ketika PBB pada 29 November 1957 memutuskan Irian Barat berada di kekuasaan Belanda. Hal itu menjadi tamparan keras bagi Bung Karno yang giat menyatukan wilayah nusantara.
Bung Karno lantas memberi ultimatum kepada orang Belanda dan keturunannya untuk segera hengkang dari Tanah Air. Sebelumnya, sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia pada 1949, Bung Karno mewajibkan orang Belanda untuk meninggalkan Indonesia.
Tak ada bungkus kado dan perayaan Sinterklas pada waktu itu. Padahal saat Indonesia masih dalam kondisi perang, warga Belanda dan keturunannya itu masih bisa merayakan hari Sinterklas. Namun, sejak kemarahan Bung Karno semuanya lenyap.
Pesta Sinterklas pada 5 Desember 1957 yang harusnya meriah menjadi kelabu. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan 'Sinterklas Hitam.'
Gerakan antiBelanda kemudian cepat menjalar di masyarakat. Mereka menuntut warga Belanda segera hengkang dari Indonesia. Warga Belanda tak berani keluar rumah. Puncaknya pada Desember 1957, toko-toko dan kantor pos tak ada yang mau melayani mereka.
Mereka kemudian beramai-ramai meninggalkan Indonesia dengan menggunakan kapal laut yang disewakan oleh pemerintah Belanda. Rumah besar, harta kekayaan, semua ditinggalkan mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak membawa apa-apa, hanya membawa pakaian yang melekat di badan.
Di kapal, mereka saling menatap. Mereka bingung apa yang harus dilakukan di negeri yang ditujunya yakni Belanda. Sebab, banyak dari mereka yang merupakan keturunan alias Belanda-Indo. Mereka tak pernah datang ke negeri leluhurnya Belanda.
Istilahnya, rambut mereka boleh pirang, tapi banyak di antara mereka yang lahir dan besar di Indonesia. Sesampainya di negeri kincir angin, mereka disambut oleh Ratu Belanda, Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau.
Sang ratu berupaya membesarkan hati mereka dengan mengatakan 'Selamat datang di negeri sendiri.' Namun, banyaknya jumlah mereka membuat pemerintah Belanda pusing. Selain membangunkan rumah untuk mereka, pemerintah Belanda juga mengimbau kepada warganya untuk memberi tumpangan kepada mereka.
Demikianlah sejarah 'Sinterklas Hitam' era Bung Karno. Meski melarang perayaan hari Sinterklas, Bung Karno tak ada maksud menyinggung sebuah agama. Sebab, sebelum emosinya meledak karena sikap Belanda yang enggan meninggalkan Irian Barat, Bung Karno kerap mengundang Sinterklas untuk menghibur anak-anak di Istana.
Langkah Soekarno itu adalah bagian dari diplomasi sebuah kepala negara. Diplomasi dengan sikap tegas dan lugas. Sikap tegas yang tak mau Tanah Air nya diinjak-injak oleh bangsa lain. Sikap nasionalisme demi mempertahankan keutuhan negaranya. Sikap radikal demi Indonesia Raya.