Kisah Fathonah dan Tumiran Jemput Anak Semata Wayang Terjebak Lahar Panas Semeru
Suasana saat itu hujan gerimis sebelum kemudian datang lava menghantam kampung Fathonah.
Fathonah dan Tumiran berjibaku menjemput anak semata wayangnya, Bawon Triono yang sebelumnya mengabarkan kalau terjebak lahar panas gunung semeru. Keduanya bertekad untuk membawa anaknya baik dalam kondisi hidup maupun mati, bahkan siap jika memang harus mati bersama.
Awalnya usai zuhur, Luthifah menantu Fathonan menelpon sang anak yang belum pulang. Saat ditelepon mengaku bersama beberapa teman sedang terjebak banjir, sehingga belum bisa pulang.
-
Kapan Gunung Semeru meletus? Gunung Semeru terus bergejolak dalam beberapa pekan terakhir. Terbaru gunung tertinggi di Pulau Jawa itu kembali erupsi pada Minggu (31/12) dini hari. Letusannya disertai lontaran abu yang mengarah ke arah selatan dan barat daya.
-
Kapan Gunung Semeru erupsi? "Terjadi erupsi Gunung Semeru pada hari Senin, 6 Mei 2024 pukul 05.43 WIB dengan tinggi kolom letusan teramati sekitar 700 meter di atas puncak atau sekitar 4.376 mdpl," kata Petugas Pos Pengamatan Gunung Semeru Mukdas Sofian, Senin (6/5).
-
Di mana letak Gunung Semeru yang mengalami erupsi? Gunung Semeru yang berada di perbatasan Kabupaten Lumajang dengan Malang, Jawa Timur mengalami erupsi dengan tinggi letusan teramati 600 meter di atas puncak atau 4.276 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada Rabu.
-
Apa yang terjadi pada Gunung Semeru? Gunung Semeru yang memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) di perbatasan Kabupaten Lumajang dengan Malang, Jawa Timur (Jatim), kembali erupsi disertai dengan letusan abu vulkanik.
-
Kapan Gunung Merapi meletus? Awan panas guguran itu terjadi pukul 20.26 WIB yang mengarah ke barat daya (Kali Bebeng) arah angin ke timur.
-
Bagaimana tinggi kolom letusan Gunung Semeru? Tinggi Letusan Menurutnya, tinggi kolom letusan teramati sekitar 800 meter di atas puncak Semeru atau sekitar 4..476 meter di atas permukaan laut.
"Sama istrinya bilang, 'Iya Dik, habis ini akan pulang, ini banyak temannya, aku gak iso liwat masih banjir," tutur Fathonah di sela mengais barang berharga di rumahnya Dusun Curah Kobokan, Supiturang, Candipuro, Lumajang saat ditemui merdeka.com.
Suasana saat itu hujan gerimis sebelum kemudian datang lava menghantam kampung Fathonah. Mereka sekeluarga bersama warga yang lain seketika mencari keselamatan masing-masing.
Menantunya, Luthifah yang tinggal bersebelahan bersama dua anaknya berusaha berlari. Sementara Fathonah dan Tumiran berlari sambil mencari satu cucunya yang sedang bermain.
Tetapi keduanya terpisah, Fathonah masuk ke rumah tetangga, sementara Tumiran berhasil masuk masjid. Mereka saat itu sedikit lega karena sudah ketemu dan berkumpul empat orang di masjid.
"Setelah ketemu dibawa ke masjid semua. Saya dan bapaknya (suami) kemudian kembali lagi mengambil tas," tuturnya.
Usai mengambil tas, keduanya memikirkan nasib anaknya yang belum ketemu. Sehingga keduanya berniat mencarinya ke arah penambangan pasir.
Keduanya akhirnya berjalan menuju arah penambangan pasir Curah Kobokan. Karena saat itu juga mendapat kabar kalau teman-teman anaknya sudah ketemu, tinggal Bawon Triono.
"Saya berangkat sendiri, sambil membawa tas. Saya jalan ke selatan, tas saya taruh di perempatan," katanya.
Nalurinya sebagai seorang ibu ternyata terbukti. Fathonah menemukan anaknya di bibir perkampungan jalan menuju pertambangan.
"Saya melihat anak saya membujur ke barat . Ya Allah, dia bilang panas-panas, kondisi sendirian," ucapnya sambil menitikkan air mata.
Saat itu anaknya meminta agar keduanya kembali saja dan merelakan sang anak mati sendiri. Tetapi keduanya tetap berusaha agar dapat mendekati sang anak.
"Wis rono Bu! Pak! Sampenyan ojok neng kene, ikhlaskan saya mati sendiri di sini," ucap Fathonah menirukan anaknya.
Tetapi tekad keduanya justru semakin kuat untuk menyelamatkan sang anak yang tinggal satu-satunya itu. Mereka berjanji akan sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan.
"Nggak nak, aku nek gak iso nggowo awakmu aku ora bali. Aku gak balik nak. Aku gak balik nek gak balik nak!. Tenan, masi koyok opo tak gowo nak awakmu. Opo maneh urip, mati tak gowo nak. Mati wong telu gak opo-opo nek lava kene," katanya.
Kaki Fathonah baru merasakan panas dan berusaha mencari pijakan karena berusaha mendekati anaknya. Keduanya mencari apapun untuk bisa menjadi pijakan agar bisa mendekati tubuh sang anak yang lunglai.
Keduanya kemudian bersama-sama mencari sesuatu, dan mendapatkan potongan bambu (sirap) dan usuk. Saat itu dijadikan pijakan mendekati Bawon.
"Ayo Pak golek sirap, bapaknya dapat sirap 4, sementara saya menemukan kayu usuk. Kemudian digunakan pijakan," tegasnya.
Saat itu Fathonah mengaku seolah melihat keajaiban. Anaknya yang semula seolah tidak berdaya akhirnya mendadak bisa berdiri. Ia pun terus menyemangati sang anak.
"Mendadak anaknya kuat berdiri, tapi saat dipegang kesakitan. Aku tak jalan sendiri mak. Akhirnya jalan sendiri," katanya.
Saat berjalan itu, Fathonah dan suaminya berjaga di samping kiri dan kanannya bermaksud memapah. Tetapi di jalan naik, justru keduanya yang akan jatuh dan ditahan oleh tubuh anaknya.
Fathonah masih merasa aneh, karena anaknya saat itu berhasil melalui kayu yang berserakan. Bisa naik sampai ke atas hingga di perempatan yang berjarak sekitar 200 meter.
"Saat itu ada kayu banyak, anaknya bisa melalui, bisa menerobos. Tapi anehnya setelah sampai atas tidak kuat. Akhirnya ketemu air, saya kasih minum, dia minum air dua cegukan. Saya sawani, saya usapi rok saya. Saya ciumi," katanya.
"Hujan deras. Setelah itu jalan lagi sampai perempatan sudah enggak kuat. Saya berdua saja, anak saya ngeblak tapi enggak mau disentuh katanya sakit," ungkapnya.
Sesaat kemudian Tumiran yang mencari pertolongan bertemu empat orang anggota SAR. Mereka yang kemudian mengangkat tubuh anaknya menggunakan sarung dan kayu seadanya.
Baru kemudian di bawah mendapatkan tandu dan diberikan pertolongan. Bawon dibawa ke puskesmas tetapi karena kondisinya parah akhirnya dirujuk di rumah sakit.
Bawon Triyono, anak satu-satu pasangan Fathonah dan Tumiran akhirnya meninggal di rumah sakit setelah menjalani perawatan. Sebagai orang tua, keduanya telah berusaha keras untuk menyelamatkan sang, tetapi sang Pemilik Hidup sebagai penentu segalanya.
"Anak saya bukan ustaz, tapi orang baik. Kalau ada kesalahan anak saya mohon dimaafkan. Doakan anak saya Husnul Khotimah," katanya.
Kondisi rumah Fathonah dan Tumiran hancur akibat bencana Gunung Semeru. Mereka saat ini numpang di kerabat menantunya, sekaligus penguburan sang anak. Setiap malam keluarga menggelar tahlil untuk almarhum.
(mdk/bal)