Kisah Sultan HB IX ditilang Brigadir Royadin
Sultan mengaku salah, tanpa ragu si polisi yang bernama Royadin pun melaksanakan tugasnya. Tak ada arogansi.
Sultan Hamengku Buwono IX kerap menyetir seorang diri. Sebuah cerita mengharukan terjadi ketika Sultan ditilang seorang polisi berpangkat brigadir. Sultan mengaku salah, tanpa ragu si polisi yang bernama Royadin pun melaksanakan tugasnya. Tidak ada arogansi atau tawaran damai di tempat.
Penulis Aryadi Noersaid menuliskannya secara apik di jogjakini.wordpress.com. Kebetulan Brigadir Polisi Royadin adalah paman Aryadi.
Peristiwa ini terjadi pertengahan tahun 1960an. Jam baru menunjukkan pukul 5.30 WIB di Pekalongan. Brigadir Polisi Royadin sudah berada di posnya. Persimpangan Soko mulai ramai dilalui Delman dan Becak. Tiba-tiba sebuah sedan hitam buatan tahun 1950an melaju pelan melawan arus. Saat itu mobil yang melintas di jalan raya sangat sedikit.
Royadin segera menghentikan mobil itu. "Selamat pagi, bisa ditunjukan rebuwes," kata Royadin. Rebuwes adalah surat kendaraan saat itu.
Pengemudi mobil itu membuka kacanya. Royadin hampir pingsan melihat siapa orang yang mengemudikan mobil itu. Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono IX! "Ada apa pak polisi kata Sultan?"
Sedetik Royadin gemetaran, tapi dia segera sadar. Semua pelanggaran harus ditindak. "Bapak melanggar verboden," katanya tegas pada Sultan. Royadi mengajak Sultan melihat papan tanda verboden itu. Namun Sultan menolak.
"Ya saya salah. Kamu yang pasti benar. Jadi bagaimana?" tanya Sultan.
Pertanyaan sulit untuk Royadin. Di depannya berdiri sosok raja, pemimpin sekaligus pahlawan Republik. Dia hanya polisi muda berpangkat brigadir. Dia heran tidak ada upaya Sultan menggunakan kekuasannya untuk minta damai atau menekan dirinya.
"Maaf, sinuwun terpaksa saya tilang," kata Royadin.
"Baik brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal,” jawab Sultan.
Dengan tangan bergetar Royadin membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu. Tapi dia sadar dia tidak boleh memberi dispensasi. Yang membuatnya sedikit tenang, tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Sultan minta dispensasi. Surat tilang diberikan dan Sultan segera melaju.
Royadin baru sadar setelah Sultan berlalu. Dia menyesal, berbagai pikiran berkecamuk di di kepalanya. Ingin rasanya dia mengambil kembali surat tilang Sultan dan menyerahkan rebuwes mobil Sultan yang ditahannya. Tapi semua sudah terlanjur.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di Markas Polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Royadin langsung disemprot sang komandan dalam bahasa Jawa kasar.
"Royadin! Apa yang kamu perbuat? Apa kamu tidak berfikir? Siapa yang kamu tangkap itu? Siapaaa? Ngawur kamu! Kenapa kamu tidak lepaskan saja Sinuwun, apa kamu tidak tahu siapa Sinuwun? teriak sang komisaris.
"Siap pak. Beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau mengaku salah, dan memang salah," jawab Brigadir Royadin.
“Ya tapi kan kamu mestinya mengerti siapa dia. Jangan kaku. Kok malah kamu tilang. Ngawur, kamu ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri Kepolisian Negara!” komisaris nyerocos tanpa ampun.
Royadin ditertawakan teman-temannya. Komisaris polisi Pekalongan berusaha mengembalikan rebuwes mobil pada Sultan Hamengku Buwono IX. Royadin pasrah saja, dia siap dihukum, siap dimutasi atau apapun. Yang pasti dia merasa sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang polisi.
Belakangan sebuah surat dikirim dari Yogya. Sultan meminta Brigadir Royadin dipindahkan ke Yogya. Sultan terkesan atas tindakan tegas sang polisi.
”Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Royadin bergetar. Sebuah permintaan luar biasa dari orang luar biasa. Namun Royadin akhirnya memilih berada di Pekalongan, tanah kelahirannya. Sultan pun menghormati pilihan Royadin.
Royadin terus bertugas di Pekalonga. Tahun 2010 lalu dia wafat. Karena sikap tegas dan tanpa kompromi, pangkatnya pun hanya naik beberapa tingkat. Namun mungkin sosok polisi inilah yang paling diingat Sultan Hamengku Buwono IX seumur hidupnya.