Kisah Udin, kuli panggul nomor 167 di pelabuhan laut Makassar
Meski usia sudah tergolong tua, dia masih semangat mengangkat barang bawaan penumpang
Porter atau kuli angkut banyak berseliweran di pelabuhan laut Soekarno Hatta, Makassar. Mereka berlomba-lomba mengail fulus dengan menjual jasa tenaga meski keringat terus bercucuran di sekujur tubuh. Semangat ekstra tentu terlihat di antara para porter ini karena penumpang begitu melimpah di musim mudik ini.
Udin, (62), salah seorang poter yang tergolong masih rajin memanggul. Meski usia sudah tergolong sepuh, dia masih semangat mengangkat barang bawaan penumpang. Menenteng koper, memanggul dus berat sembari sesekali mengelap keringat dari wajah hingga ke sekeliling lehernya yang legam dengan handuk kecilnya.
Bapak tujuh anak dan 10 cucu ini seorang porter dengan nomor baju 167. Sudah 10 tahun mencari makan di kawasan pelabuhan. Dan selama itu dia berusaha menjaga nama baik, jangan sampai cacat karena taruhannya adalah hilang kepercayaan, rejeki pun melayang.
Kata Udin, masing-masing orang berbeda. Ada yang baik, jujur, ada pula yang culas, penuh akal bulus. Porter kerap dituding banyak yang tidak jujur, banyak akal untuk memeras calon penumpang.
"Saya akui ada memang rekan porter yang kurang jujur. Tapi calon penumpang juga ada yang tidak jujur sampai porter yang jadi korban nama baik rusak, juga harus bayar uang konpensasi dari barang yang oleh calon penumpang hilang di tangan porter. Jadi selain porter, calon penumpang juga harus jujur biar sama-sama enak," jelas Udin.
Udin mengaku hanya sempat mengecap pendidikan hingga bangku Sekolah Dasar. Porter berseragam hijau dengan nomor seragam 167 ini mengaku pernah nyaris dicurangi oleh calon penumpang kapal. Kejadiannya beberapa waktu lalu, ada seorang laki-laki calon penumpang kapal dengan barang bawaan cukup banyak, besar dan bobot cukup berat di antaranya ada lemari es dan televisi.
Disepakati ongkos menaikkan barang-barang ke atas kapal sebesar Rp 400 ribu dengan ketentuan barang-barang itu ditinggalkan oleh porter setelah ketemu pemiliknya di atas kapal untuk menghindari ada barang yang hilang.
Barang-barang super berat dan banyak itu diletakkan tidak jauh dari pemilik barang yang tadinya ditemani bernegosiasi harga. Tiba-tiba saja dia ganti baju dengan warna berbeda dengan baju semula.
"Saya kebingungan karena belum hafal benar wajah pemilik barang tadi. Tapi saat saya dekati, dia tidak mengaku kalau barang-barang itu miliknya. Penumpang kapal lain juga tidak ada yang mengaku. Padahal upah angkut harus segera dibayar lantaran dari alat pengeras suara sudah tiga kali mengumumkan jika kapal sudah akan berangkat jadi semua porter harus segera turun," terang Udin.
Selanjutnya, Udin punya akal, televisi salah satu barang itu hendak dibawa turun dari kapal dan mengatakan, kalau pemilik barang ini sudah ada, tolong disampaikan kalau televisinya dititip di kantor polisi. Pemilik barang yang sudah ganti baju itu pun langsung mengaku kalau itu barangnya.
"Rasanya saya mau marah tapi saya hanya bilang, tolong jangan lagi diulang itu tindakannya. Setelah dibayar Rp 400 ribu, saya pun turun dari kapal yang tersisa beberapa menit lagi berangkat," cerita Udin saat ditemui di terminal penumpang anging mammiri pelabuhan Soekarno Hatta, Minggu, (3/7) menunggu KM Tilongkabila merapat tujuan Bima, Propinsi NTB.
Sikap jujur bagi Udin adalah prinsip yang tidak harus ditinggalkan. Agar rejeki yang diperoleh bisa berkah. Menurutnya, apa guna pendapatan banyak kalau tidak berkah karena tidak jujur itu. Karena suatu hari apa yang diperoleh itu tidak terasa akan habis begitu saja.
Warga Jl Pajjennekang, Kelurahan Bontoala Parang, Makassar ini mengaku kerja sesuai jadwal kapal yang masuk. Jika ada kapal yang merapat di pelabuhan pukul 08.00 Wita maka dia sudah harus ada di pelabuhan pukul 06.00 Wita.
Penghasilan yang dikumpulkan dalam sehari tidak menentu, tergantung berapa banyak barang penumpang yang diangkat ke atas kapal. Tidak ada standar harga, tergantung saja kesepakatan kedua belah pihak. Itupun harus dibagi dua dengan mandor yang kebagian 20 persen. Misalnya, satu dalam sehari mengumpulkan Rp 400 ribu maka mandor dapat Rp 80 ribu.
"Biasa juga dalam sehari saya hanya dapat Rp 120 ribu hanya barang dari satu calon penumpang. Kalau sudah capek, saya tidak mau paksakan diri. Disyukuri saja. Kondisi tidak bisa dipaksakan. Saat masih muda-muda masih bisa angkat barang seberat 100 kg lebih. Saat ini mampunya hanya 60 sampai 70 kg," tutup Udin.