KPI desak Kemenkominfo jalankan putusan MK tertibkan monopoli TV
UU Penyiaran dengan tegas melarang kepemilikan lebih dari satu frekuensi di satu provinsi.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) segera melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan uji materi Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Penyiaran.
Dalam putusan itu, Kemenkominfo dan KPI harus menjalankan secara konsisten amanah UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terutama segera menertibkan praktik-praktik monopoli dan pemindahtanganan frekuensi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang dilakukan oleh perseorangan atau satu badan hukum.
Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan, terkait keputusan MK itu, KPI sudah mendesak Kemkominfo untuk segera melaksanakannya.
"Pemerintah wajib melaksanakan keputusan MK. Selama ini, masalahnya ada pada implementasi yang lemah dari pemerintah. Tidak ada implementasi atas keputusan MK itu. Ini masalahnya dan ini yang harus dijalankan oleh pemerintah," kata Judha dalam keterangan tertulis, Jumat (6/12).
Judhariksawan mengakui, KPI periode lalu memang gagal melaksanakan amanat UU Penyiaran, sehingga terjadi penguasaan atau pemusatan kepemilikan usaha penyiaran, termasuk penguasaan opini publik, yang berpotensi membatasi dan mengurangi kebebasan warga negara dalam memperoleh informasi.
"KPI saat itu mengeluarkan legal opinion bahwa monopoli kepemilikan, akuisisi, dan korporasi tidak dibenarkan. Tetapi KPI hanya bisa mengeluarkan legal opinion dan tidak bisa sampai ke persoalan persaingan usaha," imbuhnya.
Keputusan MK ini menjawab gugatan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) atas kasus praktik monopoli dan pemindahtanganan frekuensi, seperti pada kasus akuisisi EMTK atas Indosiar, padahal EMTK telah memiliki SCTV dan O Channel di satu provinsi yakni DKI Jakarta.
Padahal UU Penyiaran dengan tegas melarang kepemilikan lebih dari satu frekuensi di satu provinsi. UU Penyiaran hanya membolehkan kepemilikan dua frekuensi tetapi di dua provinsi yang berbeda.
Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk segera menelusuri besaran kepemilikan saham lembaga penyiaran swasta, yang telah melakukan praktik monopoli dan pemindahtanganan frekuensi.
Praktik-praktik seperti ini, menurut MK, bukan masalah konstitusi, melainkan karena gagalnya pemerintah menjalankan UU Penyiaran.
Soal sanksi, apakah KPI akan memberi sanksi kepada pihak yang melakukan monopoli frekuensi dan memindahtangankan frekuensi, Judhariksawan mengatakan, pihaknya tidak sampai ke sana.
"Yang pasti kami sudah mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kemkominfo, untuk mengimplementasikan keputusan MK. Soal sanksi atau pidana, itu menjadi ranah pemerintah," tegas dia.
Namun, Judhariksawan mengatakan, sanksi pidana tidak menjadi pilihan, karena akan bertentangan dengan semangat reformasi dan era kebebasan pers yang berkembang saat ini.
"Pilihannya adalah saksi administrasi dan denda. Seperti di negara lain, ternyata sanksi denda bisa membuat jera dan cukup efektif, karena terkait penghasilan mereka," imbuhnya.
Masalahnya sekarang, kalau KPI mulai memberlakukan sanksi kepada lembaga televisi yang melakukan monopoli dan pemindahtanganan frekuensi, uang denda mau disimpan di mana. "Perlu ada rekening khusus untuk itu," pungkasnya.