KPK masih pertimbangkan gandeng Interpol hadirkan Sjamsul Nursalim
Selama proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung selaku mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Sjamsul tidak pernah penuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempertimbangkan bekerjasama dengan interpol guna menghadirkan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim, sebagai saksi. Selama proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung selaku mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Sjamsul tidak pernah penuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan sejauh ini mantan pemegang saham terbesar Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) masih berstatus sebagai saksi, oleh sebab itu bekerjasama dengan Interpol masih menjadi pilihan terakhir.
"Kalau memang ada kebutuhan lain sehingga kita perlu kerjasama dengan Interpol sesuai dengan aturan hukum yang ada tentu kita perlu pertimbangkan dengan serius. Karena untuk kerjasama dengan memasukan seseorang ke dalam DPO itu tidak bisa dilakukan pada saksi, hanya bisa dilakukan pada tersangka misalnya," ujar Febri di gedung KPK, Kamis (8/6).
Meski demikian, ia mengatakan koordinasi dengan Corrupt Practices Investigation Berrau (CPIB), semacam lembaga KPK di Singapura, terus dilakukan guna menghadirkan Sjamsul. Mengingat yang bersangkutan saat ini sedang berada di negara tetangga tersebut.
Sementara proses pemanggilan Sjamsul terus dilakukan, mantan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) itu menegaskan proses penyidikan terhadap Syafruddin terus dikebut.
"Kita fokus dulu pada 1 tersangka yang kita proses. KPK serius tangani BLBI meski butuh waktu karena data cukup banyak," tandasnya.
Jaksa Agung HM. Prasetyo menyarankan KPK meminta bantuan penegak hukum internasional untuk memburu keberadaan Sjamsul Nursalim yang disebut-sebut kini berada di negeri Singa.Sjamsul disebut-sebut masih memiliki kewajiban pelunasan utang BLBI sebesar Rp 3,7 triliun.
"Yang punya akses dan peluang untuk membantu ini ya jaringan Interpol, jaringan penegak hukum yang lain. Atau KPK punya jaringan di Singapura," ujar Jaksa Agung di Gedung KPK, Rabu (7/6).
Diketahui, KPK mulai bergerak mengusut dugaan penyimpangan SKL BLBI pada tahun 2008. Saat itu, lembaga antirasuah membentuk empat tim khusus buat menyelesaikan kasus BLBI, sebelumnya mentok saat ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Kasus ini ditelusuri selepas operasi tangkap tangan kasus suap dari pengusaha Artalyta Suryani alias Ayin terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan. Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan Kejaksaan karena telah menerima SKL termasuk Sjamsul Nursalim yang mempunyai utang sebesar Rp 28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp 19,38 triliun, dari Rp 52,72 triliun yang harus dibayar.
Meski demikian, pemerintah justru mengampuni beberapa pengutang lewat penerbitan SKL. Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati dan Ketetapan (Tap) MPR Nomor 6 dan 10. Saat itu Megawati mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi buat menerbitkan SKL.
Penerbitan SKL itu menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah pengutang. Selain Sjamsul, ada beberapa pengusaha lain diduga mengemplang turut dihentikan penyidikannya. Yakni The Nin King dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus "release and discharge" dari pemerintah.
Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan terindikasi korupsi.