Krisis Masyarakat Adat Banyumas Dalam Pusaran Bisnis Wisata
Dalam pusaran bisnis wisata masyarakat adat tengah mengalami rekayasa dan eksploitasi ekonomi oleh kekuasaan. Risikonya cukup jelas, masyarakat adat berada dalam krisis kehilangan identitas dan nilai-nilai primordial.
Rambu-rambu larangan pengambilan gambar ditempel di dinding kayu rumah-rumah adat di Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Sebagian rambu berpetunjuk serupa juga dipancang di areal luar makam Kyai Banokeling. Masyarakat setempat menyebut areal makam itu sebagai 'kedaton' yang bermakna singgasana.
Empu wilayah, masyarakat adat Banokeling, menggunakan kertas berukuran A4 dilapisi plastik sebagai petanda rambu. Tertera di kertas itu, tulisan dicetak tebal "batas pengambilan gambar (memotret dan merekam video)". Di bawahnya tertulis seruan berisi pesan "hormatilah norma adat yang berlaku".
-
Apa yang dilakukan Banyuwangi untuk melestarikan budaya asli bangsa? Ini salah satu bentuk pengejawantahan nasionalisme di masa sekarang. Bagaimana kita semua bisa melestarikan budaya asli bangsa kita.
-
Bagaimana Banyuwangi mengemas tradisi dan budaya lokal menjadi atraksi seni yang menarik wisatawan? Bukan berarti tradisi dan budaya kita menjadi hilang kesakralannya karena kita festivalkan. Namun, kita kemas lebih menarik dan kreatif menjadi sebuah atraksi seni yang bisa ditonton wisatawan.
-
Bagaimana cara Banyuwangi memanfaatkan insentif tersebut? “Sesuai arahan Bapak Wakil Presiden, kami pergunakan insentif ini secara optimal untuk memperkuat program dan strategi penghapusan kemiskinan di daerah. Kami juga akan intensifkan sinergi dan kolaborasi antara pemkab dan dunia usaha. Dana ini juga akan kami optimalkan untuk kegiatan yang manfaatnya langsung diterima oleh masyarakat,” kata Ipuk.
-
Apa yang membuat Banyuwangi menjadi inspirasi bagi Indonesia? Hubungan harmonis antara agama dan budaya di Kabupaten Banyuwangi mendapat apresiasi banyak kalangan. Di antaranya dari tokoh dan akademisi nasional dalam rangkaian kegiatan Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Jumat (22/9).“Nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang di banyak tempat kerap kali mengalami ketegangan yang berkepanjangan, justru di Banyuwangi mampu didialogkan dan diharmonikan dengan baik,” ungkap Penasehat Ngariksa Lukman Hakim Syaifuddin.
-
Kapan Muhibah Budaya dalam rangkaian Banyuwangi Ethno Carnival digelar? Muhibah Budaya yang digelar Jumat malam (7/7/2023) tersebut menampilkan berbagai atraksi tari dari sejumlah daerah.
-
Apa yang dibangun di Banyuwangi? Pabrik kereta api terbesar se-Asia Tenggara, PT Steadler INKA Indonesia (SII) di Banyuwangi mulai beroperasi.
Pemasangan rambu-rambu atau 'tetenger' itu hasil musyawarah adat Banokeling di tahun 2017. Kartasari, Kyai Kunci Masyarakat Adat Banokeling, mengamati mulai banyak wisatawan yang datang saban ritual adat digelar.
Saat itu, ia dilanda khawatir. Orang luar, ia resahkan tak mengetahui 'pepeling' (peringatan) dan tak bersikap 'eling' (hati-hati) terhadap 'sing ilok lan sing ora ilok' atau adat kebiasaan yang patut dilaksanakan atau sebaliknya tak patut dilakukan.
Sumitro, Ketua Adat Komunitas Banokeling mengatakan musyawarah adat berjalan cukup alot. Ia meyakinkan para sesepuh bahwa tetenger akan jadi petunjuk bagi wisatawan agar mengetahui area-area yang disakralkan dan bersikap arif menjaga suasana ibadah.
Semula, Sumitro percaya wisatawan yang hadir memiliki pandangan terbuka untuk menghormati kearifan lokal, ekspresi beragama dan kepercayaan yang beragam. Dugaannya ternyata meleset.
"Saya kewalahan untuk mengatur tamu," ujar Sumitro di kediamannya, Selasa (21/1).
Sumitro bercerita, sekelompok wisatawan beberapa kali ia dapati menerobos masuk ke kedaton. Mereka berfoto-foto di tangga gapura menuju makam Kyai Banokeling. Di wilayah kedaton, aturan adat melarang siapapun beraktifitas tanpa didampingi oleh Kyai Kunci. Kedaton hanya diperuntukkan untuk 'nyaosaken', berdoa menyampaikan setiap hajat warga terkait pertanian atau keselamatan.
Kedaton bagi masyarakat Banokeling adalah simbol alam 'kelanggengan' (alam keabadian). Manusia tidak boleh mengusik, pohon dibiarkan tinggi menjulang, daunan terlarang dipetik, tumbuhan berkembang biak sesuai kemauan alam. Hanya dalam waktu-waktu tertentu, anak putu diperbolehkan membersihkan areal ini. Itu pun sebatas menyisihkan daun-daun kering ke pinggiran areal makam.
Acapkali pula, wisatawan yang menghadiri ritual adat melanggar keharusan menanggalkan sepatu atau sandal. Padahal, aturan ini terkait pepeling bahwa di lokasi ritual setiap orang mesti melepaskan statusnya. Bertelanjang kaki dimaknai sebagai perilaku 'lebur tepaking gusti, neceb pangandika' atau melebur dalam jejak keilahian dan menghayati keilahian. Bertelanjang kaki untuk mengingatkan bahwa kehidupan di dunia adalah cobaan.
"Kami tidak mengenal denda adat. Baik buruk manusia, Tuhan yang membalas," kata Sumitro.
Jati Diri yang Menyusut
Di Banokeling, kehadiran wisatawan berawal di tahun 1980. Orang-orang mulai berdatangan usai dibangun jembatan di atas sungai Lok Pasir pada tahun 1979. Jembatan ini menghubungkan Desa Pekuncen dengan wilayah Kecamatan Wangon di sebelah timur dan Kecamatan Rawalo di sebelah barat. Dua kecamatan itu merupakan jalan perlintasan dari Banyumas menuju Cilacap atau ke Jawa Barat.
Empat puluh tahun silam, wisatawan yang datang hanya berasal dari sekitaran Banyumas untuk berziarah ke makam Kyai Banokeling, tokoh leluhur Desa Pekuncen. Pada tahun 1990-an sampai 2000-an mulai datang mahasiswa dan peneliti untuk mempelajari tradisi dan kehidupan sehari-hari masyarakat adat Banokeling. Lama kelamaan berkunjung wisatawan dalam rombongan berasal dari berbagai kota untuk melihat ritual adat Banokeling.
2020 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Sumitro lantas menunjukkan buku tamu masyarakat adat Banokeling. Buku itu, mencatat identitas nama, alamat, kepentingan, no telepon para tamu yang mengunjungi Perlon Unggahan di Banokeling dari tahun 2017-2019. Perlon Unggahan adalah ritual ziarah masal anak putu Banokeling pada Bulan Ruwah atau Sya'ban. Mereka menjalani laku berjalan dari berbagai wilayah di Kabupaten Banyumas dan Cilacap menuju makam Kyai Banokeling.
Terdaftar di buku itu, rincian tamu yang mengunjungi Perlon Unggahan di tahun 2017 sebanyak 106 orang. Pada tahun 2018 meningkat 212 orang, dan tahun 2019 tercatat 118 orang. Mereka berasal dari berbagai wilayah di antaranya Jakarta, Semarang, Yogyakarta serta Bandung. Identitas mereka mayoritas tertulis mahasiswa dan fotografer. Kepentingan yang mereka nyatakan untuk mendokumentasikan Perlon Unggahan.
"Buku tamu itu saya buat karena 'kewirangan' (mendapat malu). Tahun 2016 saat Perlon Unggahan ada tamu yang kehilangan seperangkat kamera di kediaman saya," ujar Sumitro.
Achmad Sunjayadi, penulis buku Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1945 (Kepustakaan Populer Gramedia. 2019), mengatakan bahwa orang melakukan kegiatan pariwisata didorong berbagai motivasi. Di antaranya karena kebutuhan akan pelestarian, pamer, berkelompok, permainan, pengetahuan, pembaruan jiwa, komunikasi dan perluasan wawasan.
Masyarakat adat Banokeling tengah berhadapan dengan berbagai motivasi wisatawan tersebut. Sumitro menilai, wisatawan yang datang tak semuanya tertarik pada pelestarian atau mempelajari keberagaman aspek kebudayaan dan kearifan lokal.
Tetapi lebih banyak ingin menonton ritual adat dengan tujuan bersenang-senang. Rasa khawatir yang muncul, bila ritual adat dimaknai semata hiburan akan dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memperoleh uang.
"Para sesepuh mewanti-wanti jangan sampai siapapun yang mendatangi perlon unggahan ditarik uang," ujarnya.
Pariwisata memang bukan bagian dari pertahanan hidup masyarakat adat Banokeling. Bertani adalah jati diri mereka sebagaimana kisah awal mulai Kyai Banokeling memilih menyepi di Pekuncen dengan melakukan among tani (membuka lahan pertanian). Masyarakat Banokeling tak semata menjadikan pertanian sebatas sumber mata pencaharian, namun personifikasi transenden kehidupan berkaitan dengan siklus kehidupan.
Sumitro menyontohkan di selametan mitoni, orang tua menggotong empat iket gabah sebagai bagian ritual. Gabah itu bagian doa agar jabang bayi saat tumbuh dewasa menguasai banyak ilmu pengetahuan, tapi sikapnya tetap menunduk layaknya padi. Sedang saat kematian, batang-batang padi yakni oman disebarkan di areal makam. Ritual ini menyimbolkan kefanaan manusia.
Sayangnya, lahan pertanian di sekitar lingkungan tinggal warga Banokeling telah mengalami perubahan tataguna. Warga Banokeling semula memiliki lahan sawah tadah hujan sekitar 100 hektare. Kini menyusut menjadi 65 hektare. Menurunnya lahan ini karena meningkatnya lahan pekarangan atau pemukiman.
Di sisi lain, lingkungan mereka juga terancam oleh pertambangan batu belah. Sumitro bercerita pertambangan batu belah mulai banyak beroperasi di perbatasan wilayah Gunung Wetan, juga di Dusun Pekuncen. Wilayah ini memang dikenal memiliki potensi komoditas tambang batu andesit dan basalt.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah terkait rekap izin usaha pertambangan (WIUP) yang diterbitkan per Oktober 2018, di Pekuncen terdapat empat pertambangan atas nama perseorangan. Sedang di wilayah Gunung Wetan, terdata 10 pertambangan. Rinciannya yakni dua atas nama perseoran terbatas, sedang delapan sisanya atas nama perseorangan.
Masyarakat Banokeling bersikap menolak keberadaan tambang. Bagi mereka, tambang memiliki daya rusak terhadap lingkungan. Pepohonan, hewan jadi korban, juga menipisnya sumber mata air yang sangat diperlukan untuk kepentingan pertanian dan merawat tegalan. Tambang akan jadi ambang ajal bagi lingkungan yang mengayomi mereka.
"Kita harus berani menolak," kata Sumitro.
Filosofi Hidup yang Terkucilkan
Tigabelas kilometer dari Desa Pekuncen, di Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Muharto duduk bersila di atas amben. Kedua ibu jari dan jari telunjuknya bersisian melinting cacahan daun kering tembakau.
Muharto mengenakan iket di kepalanya. Sebagian bulu-bulu alisnya memutih di usianya yang memasuki 75 tahun. Muharto adalah ketua Masyarakat Kasepuhan Adat Kalitanjung. Ia sangat dikenal di Desa Tambaknegara.
"Ten mriki (di sini) pemerintah mengusulkan agar dibangun wisata religi," kata Muharto, Rabu (22/1).
Usul itu, telah lama dia dengar dan sekian tahun hanya bertengger di awang-awang. Ia mengingat, Kasepuhan Adat Kalitanjung acapkali dibicarakan sebagai bagian dari keragaman wisata di gugusan bukit dan aliran sungai Serayu. Keberadaan Kalitanjung dielu-elukan memperkaya objek wisata alam bendungan Kali Serayu dan bangunan kuno Pemandian Tirta Husada Kalibacin yang dibangun pada tahun 1892.
Sayangnya, kata Muharto, usul pemerintah baru muncul dalam bangunan gapura bertuliskan 'Desa Wisata'. Gapura itu berdiri di ujung jalan memasuki Desa Tambaknegara. Persis berhadap-hadapan dengan sungai Serayu.
Di mata Muharto, langkah pemerintah untuk mengangkat tradisi Kalitanjung baru nampak pada akhir tahun 2019 lalu. Selasa Kliwon, 25 November 2019, ritual Anggara Kasih dilaksanakan atas inisiasi Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), didukung Kementerian Kebudayaan Direktorat Kepercayaan Tuhan YME.
Ritual ini ungkapan rasa syukur atas segala kemurahan Tuhan. Selamatan hasil bumi disajikan dalam bentuk tumpeng, ayam ingkung, aneka buah-buahan, sayur, juga berbagai jajanan pasar. Muharto membakar menyan memimpin caos bekti di kongsen, rumah adat. Usai ritual dilangsungkan, kesenian gandalia dimainkan oleh para sesepuh diiringi nyanyian sinden lanang. Permainan angklung berlaras slendro dengan nada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem) ini merupakan musik petani saat menjaga ladang.
"Tumpeng itu gunung, artinya kita memohon slamet gununge. Ingkung menolak bala atau bahaya. Intinya kita memohon slamet sekabehe (selamat segalanya)," kata Muharto.
Direktur Direktorat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Cristiati Ariani hadir di Kalitanjung. Ia mengatakan bahwa malam Anggara Kasih sebelumnya rutin dilaksanakan di Sasana Adirasa Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Di tahun 2019, kementerian memilih melaksanakan tradisi ini di tempat masyarakat pendukungnya. Menurutnya tradisi leluhur ini mesti dilestarikan sebab memuat filosofi yang menggambarkan keselarasan antara manusia, alam dan Tuhan.
Ironisnya, filosofi hidup yang diajarkan oleh leluhur Kalitanjung, dan diwariskan pada generasi penerus mereka, justru terkucil dari lingkungannya. Kekayaan alam di satu sisi berlimpah, tapi di sisi lain juga amat rapuh. Sungai Serayu misalnya, mengaliri 20.000 hektare lebih lahan pertanian. Tapi Serayu juga dalam kondisi kritis akibat pengambilan atau penambangan material-material yang ada, seperti batu dan pasir.
Ketua Paguyuban Masyarakat Pariwisata Serayu, Eddy Wahono mengatakan penambangan pasir di Sungai Serayu tidak sebanding dengan dampak yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu. Akibat penambangan pasir, sungai kian dalam, arus air juga semakin deras dan menggerus pinggiran sungai. Penertiban sulit dilakukan karena regulasi antara pemerintah daerah dan pusat tidak sinkron, serta tak ada koordinasi antarinstansi terkait.
"Dampak yang sudah terjadi, ambruknya Jembatan Soekarno akibat gerusan air Sungai Serayu. Banyaknya aktivitas penambangan pasir liar di sekitar jembatan disinyalir menjadi penyebab putusnya jembatan tersebut," kata Eddy yang juga mantan Dewan Pengawas Sumberdaya Air (SDA) Jawa Tengah, Senin (3/2).
2020 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Situs di lingkungan tempat masyarakat adat Kalitanjung juga berada di tengah alam yang kian tercemar. Mencolok mata, di belakang pendapa Kasepuhan Adat aliran anak sungai Banjaran tidak lagi bening. Kata Muharto, sungai keruh dan dangkal akibat warga yang bermukim di pinggiran sungai Banjaran menjadikannya tempat pembuangan sampah.
Merujuk penelitian Lutfhi Wibowo, penulis di Jurnal Teknik, Universitas Diponegoro (2017), terkait perubahan DAS Sungai Banjaran, tataguna lahan di Sub DAS Banjaran memang mengalami perubahan yang cukup tinggi. Selama kurun waktu 1995 sampai 2001, lahan sawah berkurang 1.759,28 hektare menjadi 1.603,97 hektare, dan permukiman bertambah 1.284,36 hektare menjadi 1.445,88 hektare. Perubahan tata guna lahan berdampak luapan sungai Banjaran dan anak sungainya yang mengakibatkan banjir.
"Saya tidak bisa berbuat banyak soal kebiasaan warga membuang sampah di sungai," kata Muharto.
Muharto memiliki kesan, alam justru terselamatkan saat masih dianggap wingit. Ia menyebut Bukit Kelir di kawasan Kalitanjung yang diselimuti kisah-kisah mistis. Orang-orang takut untuk merambah bukit dan segan untuk menebang pepohonan karena dianggap tempat bersemayam roh-roh halus. Di bukit ini, dipercaya oleh warga Kalitanjung memang kerap terdengar suara gamelan ditabuh saban dini hari.
Di balik kewingitannya, Bukit Kelir juga dipercaya jadi tempat bagi pedalang, sinden, lengger, pengrawit di masa silam mendapat kepiawaian menjalani laku kesenian. Keberadaan bukit Kelir yang alami dan kaya cerita ini, bagi Muharto, bisa jadi celah unggulan mengenalkan Kalitanjung sebagai desa wisata. Ia berpikiran menjadikan Bukit Kelir bagian dari pementasan Lengger Lanang dan Gandalia, kendati regenerasi tengah jadi problem di kesenian khas Kalitanjung ini.
Muharto bercerita baik Gandalia atau Lengger Lanang adalah bagian dari ritus kesuburan. Bila gandalia dimainkan untuk menjaga lahan dari babi hutan, lengger lanang ditarikan saat masa panen. Tujuannya, penggambaran fenomena alam yang serba mendua, menyiratkan keseimbangan tanpa harus meninggalkan satu dan lainnya, sebagaimana siang dan malam, laki-laki dan perempuan, gembira dan nestapa, atau fisik dan metafisik.
2020 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Lagi-lagi memang, pandangan kosmik petani ini mengalami keterpencilan. Makna keseimbangan kehidupan dalam konsep dualisme, antara kategori-kategori yang berlawanan di dalam Lengger Lanang justru mengalami pengerdilan pandangan. Pelaku lengger lanang, diakui Muharto, kerap dipandang sebelah mata atau mengalami diskriminasi.
"Saya tahu ada yang menyebut mereka banci. Tapi di Kasepuhan Kalitanjung, laki-laki yang dapat meniru perilaku sampai suara perempuan justru istimewa di mata adat. Pandangan yang melecehkan ini membuat generasi yang lebih muda jadi malu untuk mempelajari Lengger," ujar Muharto.
Aktivitas Promosi
Kantor Disporabudpar Kabupaten Banyumas terletak di Jalan Prof Dr Suharso, berdekatan dengan kawasan GOR Satria, ruang publik kebugaran bagi warga perkotaan Purwokerto. Di depan gedung Disporabudpar, berdiri patung Bawor, ikon Banyumas yang melambangkan karakter 'glogok soar' atau bersifat apa adanya.
Asis Kusumandani adalah Kepala Disporabudpar Kabupaten Banyumas. Dia mengaku baru mengetahui seluk beluk tradisi masyarakat adat Banyumas sejak menjabat pekerjaan ini pada 2017 silam. Sebelumnya Asis adalah Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Banyumas.
"Saya yakin selain orang Dinpora mungkin kurang banyak yang tahu tradisi masyarakat adat. Apa mungkin saya yang kuper. Karena itu kami coba bareng-bareng mempublikasikan," kata Asis, Kamis (23/1).
Asis bercerita baru saja mengundang sejumlah pemangku adat pada Rabu, 15 Januari 2020. Kepentingannya menyosialisasikan bahwa sejumlah ritual adat telah dimasukkan dalam even pariwisata dan budaya unggulan Banyumas tahun 2020.
Asis menerangkan panjang lebar bahwa Bupati Banyumas, Achmad Husein, punya komitmen pelestarian masyarakat adat, dengan mengatakan bahwa pengembangan adat masuk indikator kinerja utama visi misi Bupati. Ada tiga alasan utama. Asis mengatakan, "Pertama, tradisi masyarakat adat Banyumas bersifat unik dan tak ada di tempat lain. Kedua, mencerminkan pluralitas dan toleransi. Ketiga, objek wisata budaya berpotensi mendukung perekonomian setempat."
"Persoalannya kegiatan mereka minim dipromosikan," lanjut Asis.
Sebagai bahan promosi, Disporabudpar berencana membuat iklan yang disebarkan ke berbagai media promosi. Asis mengatakan akan dipublikasikan masing-masing profil even wisata unggulan Banyumas dan tata aturan yang mesti diikuti oleh wisatawan saat berkunjung ke kegiatan masyarakat adat di laman web Pemkab Banyumas.
Selain itu, mereka akan memanfaatkan film dokumenter untuk dipublikasikan di situs web berbagi video untuk menjangkau minat publik secara luas. Koordinasi antarlembaga ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga diupayakan dalam hal memaksimalkan promosi.
Rencana lain yang telah dibicarakan pada pemangku adat, yakni persiapan sarana akomodasi bagi wisatawan. Asis menerangkan di Banokeling semisal, perlu ada rumah tinggal yang dapat disewa oleh wisatawan. Pasalnya, jumlah wisatawan semakin meningkat dan mereka memerlukan tempat menginap mengingat ritual adat semacam Perlon Unggahan dilaksanakan selama dua hari.
"Tujuannya bukan komersil. Tapi masyarakat setempat tidak terugikan. Bukan juga aji mumpung, ini kebutuhan wisatawan karena mulai ramai dikunjungi," katanya.
Asis menegaskan selain promosi, pihaknya hanya dapat memfasilitasi pagelaran kesenian atau festival setempat dengan anggaran pementasan. Itu sebabnya, di Kalitanjung misalnya, masukan yang diberikan adalah penggalian objek pemandangan alam atau budaya yang nantinya dapat dikemas dalam suatu pertunjukan. Mengidentifikasi dan memetakan potensi yang mereka miliki, mengkaji kebutuhan masyarakat dan melakukan perencanaan pengembangan wisata perlu dilakukan sebagai langkah awal.
Asis menyontohkan, salah satu objek pengembangan wisata budaya di masyarakat adat yang telah berjalan dan didukung Disporabudpar, yakni Festival Rewandha Bojana di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon. Festival ini hasil dari identifikasi potensi wilayah, dimana di sekitar lokasi adat hidup ratusan kera ekor panjang (macaca fascicularis). Keberadaan primata tersebut di satu sisi telah menjadi daya tarik wisatawan dan di sisi lain merupakan ikon masyarakat adat Cikakak.
2020 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Tertera di laman web disporabudpar.banyumas.go.id dijelaskan bahwa Festival Rewandha Bojana merupakan festival memberi makan kera di kompleks Masjid Saka Tunggal. Makna dari kegiatan ini ditulis sebagai tradisi saling mengasihi sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Terdapat anjuran di tulisan agar pengunjung tidak turut serta berebut gunungan buah dan sayur yang disajikan untuk kawanan kera. Informasi promosi ini dipublikasikan pada Kamis, 6 April 2017, dan telah dilihat sebanyak 6.051 kali saat diakses merdeka.com pada Jumat (31/1).
"Prinsipnya kami memfasilitasi setiap penggalian potensi di masyarakat adat. Kami menghormati kearifan lokal. Bukan ingin mencampuri," ujar Asis.
Hama di Tanah Adat
Usaha untuk mengembangkan wisata di lingkungan masyarakat adat memerlukan kehati-hatian. Subagyo, menyimpulkan itu dari pengalaman hidupnya di Desa Cikakak. Subagyo berusia 62 tahun. Ia Juru Kunci Masjid Saka Tunggal generasi ke-18.
Dia bercerita, tiap bulan Rajab warga Cikakak menggelar ritual adat Jaro Rajab. Warga berbondong-bondong membawa bambu, bergotong royong melakukan penggantian pagar di kompleks Masjid Saka Tunggal sebagai bagian rangkaian keagamaan. Kegiatan ini berlangsung takzim, penghargaan pada leluhur yang mengajarkan Jaro sebagai 'jajar loro'. Pepeling agar menjaga kehidupan luar dengan tali silaturahmi dan merawat kehidupan dalam berupa akidah.
Tapi, suatu kali, ketakziman Jaro Rajab beralih jadi hiruk pikuk. Saat itu, Festival Rewandha Bojana jadi program wisata baru yang menumpang pada kegiatan Jaro Rojab. Kerumunan wisatawan di sepanjang jalan. Suasana yang tadinya tenang jadi ribut. Wisatawan bersorak-sorak menonton kera-kera turun mengerumuni gunungan buah dan sayur.
"Kegiatan adat berjalan kacau," kata Subagyo saat ditemui di kediaman adat juru kunci Saka Tunggal, Sabtu (24/1).
2020 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Tak ingin mengulangi persoalan yang sama, gelaran Rewandha Bojana lantas digelar tiap bulan Sura. Ribuan wisatawan hadir memadati jalan dan berkerumum di halaman Masjid Saka Tunggal. Suasana makin ribut dalam lima kali gelaran dari 2015 sampai 2019. Terakhir kali digelar, justru wisatawan saling berebut gunungan yang diperuntukkan bagi kera.
"Saya terakhir kebagian sampahnya saat Rwanda Bojana tahun lalu," kata Subagyo.
Sejatinya, kehadiran wisatawan bukanlah hal baru di Saka tunggal. Setiap akhir pekan, derum enam sampai tujuh bus berisi rombongan peziarah makam-makam wali biasa mendatangi kawasan ini. Masjid peninggalan Kyai Mustolih dan tradisi masyarakatnya mulai dikenal luas sejak tahun 1983 lewat pemberitaan sejumlah surat kabar.
Pada tahun 2003, kawasan ini mulai dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata. Tapi wisata punya konsekuensi-konsekuensi yang tak terpikirkan sebelumnya. Rombongan wisatawan yang mengunjungi Saka Tunggal kerap memberi makan pada kera menjadikan hewan itu tergantung. Kawanan kera semakin bermunculan, seakan mengerti bahwa mereka lebih mudah mendapat makanan di kawasan Saka Tunggal.
Tahun demi tahun berjalan, kawanan kera meninggalkan hutan dan memilih berkumpul di sekitaran saka tunggal. Ratusan kera ekor panjang ini lantas jadi hama bagi ladang warga. Mereka menjarah jagung, ketela juga kelapa. Tanpa disadari, wisata membawa dampak konflik warga dengan satwa.
"Saya mengusulkan perlunya lokasi khusus bagi wisatawan yang hendak berinteraksi dengan satwa. Ini sudah saya sampaikan ke Pokdarwis," ujar Subagyo.
Sekretaris Pokdarwis Saka Tunggal, Jarwoto Andi Purnomo mengatakan tengah mempersiapkan kawasan bukit sebagai taman kera. Nantinya pula Rewandha Bojana akan dialihkan ke kawasan bukit ini. Pengalihan ini tinggal menunggu perjanjian antara pemerintah dan warga pemilik tanah yang dijadikan kawasan taman kera. Pengalihan untuk menjaga kebersihan lingkungan adat serta mengupayakan kera-kera itu beradaptasi kembali ke hutan.
Andi menjelaskan rata-rata tingkat kunjungan wisatawan ke Saka Tunggal sebanyak seribu orang dalam sebulan. Tujuh puluh persen tujuan wisatawan untuk berziarah. Selama ini, Pokdarwis diberi peran oleh pemangku adat untuk mengatur dan memberitahukan aturan-aturan adat yang mengunjungi Saka Tunggal. Selain itu mereka juga mengelola pembagian pendapatan dari biaya masuk kawasan. "Kawasan adat memang mulai kita sterilkan," katanya.
Wisata di Saka Tunggal, dalam pandangan Andi, merupakan bagian dari proses panjang yang telah dilalui masyarakat dalam melakukan kegiatan pariwisata yang menghormati kearifan lokal. Menggerakkan komunitas setempat sembari memperkuat jati diri melestarikan warisan leluhur dalam industri wisata menurutnya bukan pekerjaan gampang.
"Kami terus berbenah agar tak ada benturan antara tradisi adat dan pengembangan wisata," ujar Andi.
Etalase Wisata
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hariyadi mengatakan, dalam pusaran bisnis wisata masyarakat adat tengah mengalami rekayasa dan eksploitasi ekonomi oleh kekuasaan. Risikonya cukup jelas, masyarakat adat berada dalam krisis kehilangan identitas dan nilai-nilai primordial. Masyarakat adat semata dipandang menjadi memori tradisional yang hanya dipromosikan untuk meramaikan panggung hiburan pariwisata.
Menurut Haryadi, tata kehidupan masyarakat adat serta ekosistem di sekeliling lingkungan mereka yang telah terbangun lama, mengakar serta kaya akan kearifan hidup, telah dimarjinalisasi. Pasalnya pelestarian mereka tak disertai perlindungan pada lingkungan hidup mereka tinggal. Dengan sendirinya, masyarakat adat yang minoritas di Banyumas lambat laun akan kehilangan kemampuannya untuk mandiri secara politik dan akan kehilangan wibawa secara kebudayaan.
"Masyarakat adat semata jadi etalase wisata. Tempat memamerkan barang-barang yang dianggap unik pada turis untuk dijual. Sedang lingkungan mereka hidup, juga pertahanan hidup yang bertopang pada pertanian mengalami benturan dengan ekspansi modernitas," kata Hariyadi.
(mdk/cob)