Lebih takut tak punya uang ketimbang takut Sinabung
Mereka menilai bantuan pemerintah dinilai sangat kurang.
Peristiwa Gunung Sinabung mengeluarkan awan panas hingga merenggut tujuh nyawa tak membuat sebagian warga Karo, Sumatera Utara takut. Bahkan, usai kejadian itu warga nekat kembali beraktivitas seperti biasa bertani.
Himpitan ekonomi menjadi alasan utamanya warga untuk menerjang zona merah di kawasan tersebut.
"Sekarang sedang 'panas' karena banyak jadi pemberitaan, sepertinya belum ada yang masuk. Kalau pun ada, ya orang jahat yang mau mencuri. Aku tanam kopi di sana, walau pun sempat rusak, ternyata kopiku tumbuh bertunas lagi," kata D Sembiring (45), warga Berastepu, saat ditemui di depan portal menuju Desa Gamber di Desa Kuta Tengah, Rabu (25/5).
Sembiring menyatakan, dia kerap masuk ke desanya melalui jalur tikus. "Banyak yang masuk, kan banyak jalur tikus, banyak kali pun, mana bisa diawasi itu," ungkap D Sembiring.
Dia menilai bantuan pemerintah dinilai sangat kurang. Sembiring mengaku hanya diberi bantuan Rp 5,6 juta untuk sewa rumah dan lahan.
"Katanya untuk rumah Rp 1,8 juta setahun, rumah punya orang mana bisa kita yang menentukan harga. Berapa lagi sewa lahan, belum lagi modalnya. Makanya banyak yang nekat masuk, karena lahannya sudah ada," kata D Sembiring yang mengaku mengontrak di Desa Budaya Lingga dengan harga Rp 2,5 juta per tahun.
Sarita br Ginting (30), warga Desa Sigarang-garang, Kecamatan Naman Teran, mengatakan mereka bahkan masih nekat tinggal di sekitar desanya yang juga sudah dinyatakan akan direlokasi.
"Anak kami tetap di posko penampungan di GBKP Simpang Enam, kami tinggal di simpang dekat desa kami. Sekarang kami tidak takut gunung, kami lebih takut tidak punya uang," ucapnya.
Hal senada disampaikan Br Sitepu (45), warga Dusun Tiga Serangkai, Desa Berastepu. Menurutnya bantuan pemerintah hanya cukup untuk makan. Sementara mereka memerlukan uang untuk menutupi kebutuhan lainnya.
"Kita punya anak sekolah, mana cukup bantuan itu," katanya.
Br Sitepu bahkan meminta diizinkan untuk bisa memasuki portal di Desa Kuta Tengah menuju tempat tinggalnya.
"Aku mau mengambil beras di sana. Walaupun nggak banyak, itu kan bisa jadi uang juga," jelasnya.
Sementara itu, pasangan suami istri, Daud Pandia (36) dan Sarita br Ginting (30), sibuk berladang di lahan yang ada di Desa Sukandebi, Kecamatan Naman Teran, Karo. Mereka mencoba merawat tanaman cabai yang penuh diselimuti debu.
"Mudah-mudahan hujan besok, supaya kami bisa panen cabai ini," kata Daud.
Menuurtnya, jika hujan turun debu yang menutupi cabai bisa luntur. Cabai yang bersih itu akan dapat dipanen. Daud dan istrinya berharap sekali cabai itu bisa dipanen, karena mereka sangat membutuhkannya. Selain itu, keluarga ini juga sudah termodal banyak.
"Kami menyewa lahan sekitar 1 hektare ini Rp 5 juta setahun, kami juga pinjam sana sini Rp 30 juta untuk bibit, pupuk dan perawatan. Baru sekali kami panen 27 kg, yang lainnya gagal karena debu," ucapnya.
Pasutri Daud dan Sarita merupakan warga Desa Sigarang-Garang, Kecamatan Naman Teran. Desa itu sekitar 3 km dari puncak Gunung Sinabung, namun luncuran awan panas belum pernah mengarah ke sana.
Warga Desa Sigarang-garang itu termasuk yang direlokasi mandiri. Namun uang sewa rumah dan sewa lahan yang diberikan pemerintah dinilai tidak cukup.
"Rp 5,6 juta untuk rumah dan lahan mana cukup. Bayangkan ini modalnya saja sudah Rp 30 juta," ucapnya.
Keluarga Daud dan Sarita membutuhkan tambahan uang untuk kebutuhan hidupnya. Dua putra dan seorang putrinya juga perlu jajan saat sekolah.
"Kalau cuma untuk makan bisalah, tapi kita kan perlu uang lainnya," ucap Sarita.
Karena itu Sarita dan Daud berharap hujan segera turun. Supaya mereka bisa panen dan dapat uang.