Mengenal tiga ulama besar dari Betawi
Mereka mendapat julukan 'Macan dari Betawi'.
Jangan mengaku menjadi warga Jakarta bila tidak mengenal sosok ulama betawi yang menjadi panutan. Mereka yakni Kyai Haji (KH) Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan KH Guru Mughni.
KH Abdullah Syafii dikenal macan dari Betawi. Tubuhnya sedikit gemuk, bicaranya pun blak-blakan. Dia lahir di Kampung Bali, Matraman, dan sejak kecil sudah gemar belajar ilmu agama.
Ulama terkenal Prof KH Ali Yafie pernah mengatakan Abdullah Syafii seorang pemberani, ikhlas, dan tak jemu dalam berdakwah. Dia dikenal sangat tegas dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.
Syafii remaja sangat haus pengetahuan. Dia memaksa ayahnya KH Syafii untuk menjual kebun dan sapi milik mereka untuk dibangun madrasah. Sekolah agama pertama miliknya hingga berkembang luas, termasuk Universitas Assyafiyah di Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Syafii dikenal tak segan menentang kebijakan penguasa kala itu, mantan presiden Soeharto, maupun mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin tak lepas dari kritikan tajamnya. Menghadapi keduanya, Syafii tak kalah garang.
Seperti ketika Ali Sadikin berwacana agar umat muslim yang meninggal tidak perlu dikubur, melainkan dibakar saja dengan alasan tanah di Jakarta semakin mahal. Syafii menjadi salah satu penentang terdepan. Dia juga menolak legalisasi tempat prostitusi dan perjudian saat itu sedang diusahakan Pemprov DKI Jakarta. Sikapnya menolak kebijakan itu tidak hanya dilakukan lewat ceramah.
Dengan mendirikan Majelis Muzakarah Ulama, dia merangkul ulama lain seperti Abdussalam Djaelani, Abdullah Musa dan ulama-ulama lain. Dalam majelis itu, ia membahas berbagai masalah umat dan bangsa, seperti perjudian, kuburan muslim, dan sebagainya. Begitu pula saat ada wacana batasan azan subuh, Syafii muncul di depan menentang gagasan itu.
Pada 1970, pemerintah di bawah kepemimpinan Soeharto berencana melegalisasi aliran kepercayaan. Syafii lagi-lagi menentang dengan mengumpulkan 1.000 ulama yang memiliki integritas demi menolak kebijakan itu. Karena mendapat penolakan itu, Soeharto mengurungkan niatnya.
Walau keras terhadap kebijakan yang bertentangan dengan pemikirannya, Syafii mengimbanginya melalui dakwah persuasif. Langkah itu yang membuat penguasa dan warga segan terhadapnya.
Selain Syafii, juga ada KH Noer Ali. Dia dikenal sebagai macannya Karawang-Bekasi. Penggalan puisi tersohor Chairil Anwar bertajuk 'Karawang-Bekasi' terinspirasi dari sosoknya.
"Anda warga bekasi, Jawa Barat, hendak bepergian ke Jakarta tentu sering sekali melewati jalan dikenal dengan Kalimalang. Itulah jalan Kyai besar Noer Ali. Siapakah dia? Noer Ali berdarah betawi meski lahir di Bekasi. Dia dikenal ulama sekaligus guru namun saat Indonesia dijajah sekutu dia ikut perang angkat senjata sebab menurutnya cinta tanah air sebagian dari iman."
Belum berumur lima tahun, Noer Ali sudah menghafal Alquran. Berbekal ilmu agama, serta cintanya pada Indonesia, negara mengukuhkannya sebagai pahlawan karena keberaniannya melawan penjajah.
KH Guru Mughni juga memiliki peran tak kalah penting dari Syafii dan Noor Ali. Dia mendapat gelar macan dari Batavia. Ia juga melahirkan para ahli di bidang agama, seperti ahli tafsir, ahli tarbiyah, ahli ilmu falak, dan sebagainya.
selain menjadi pengajar para guru agama, Guru Mughni berhasil mengobarkan api semangat pemuda Betawi untuk perang melawan penjajah.