Mengintip Bandara Blimbingsari di Banyuwangi yang kaya prestasi
Bupati Anas menambahkan, terminal hijau ini makin ikonik karena mengadopsi konsep atap rumah Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) yang juga menunjukkan ciri bangunan tropis.
Terminal baru berkonsep hijau pertama di Indonesia yang ada di Bandara Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi, sudah siap beroperasi. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meninjau terminal hijau tersebut beberapa waktu lalu.
"Ini sudah siap beroperasi. Tinggal menunggu beberapa hal teknis saja. Terminal baru ini menjadi ikon wisata sekaligus memberi ruang yang cukup bagi penumpang, mengingat terminal lama sudah tidak mencukupi seiring lonjakan penumpang yang mencapai lebih dari 1.300 persen dalam lima tahun terakhir," ujar Anas.
Terminal baru tersebut diharapkan bisa beroperasi sebelum Lebaran atau pada awal Juni 2017 berbarengan dengan realisasi rute penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi.
Anas mengatakan, konsep arsitektur ruang publik tidak boleh asal-asalan. Selama ini, karya arsitektur yang menerabas pakem relatif sulit diterapkan di bangunan yang didanai pemerintah, baik karena paradigma arsitektur yang masih konvensional maupun kendala administrasi.
"Tapi di Banyuwangi, karya anti-mainstream justru kami beri ruang. Selain di bandara, ruang publik lain juga dibangun dengan arsitektur mendalam, mulai taman, kampus, pendopo, pasar, sampai destinasi wisata. Sehingga bangunan publik tidak hanya bermakna proyek, tapi juga bermanfaat bagi ekonomi masyarakat dan pengembangan sosial-budaya," ujar Anas.
Anas memaparkan, konsep yang diusung di terminal bandara diarahkan untuk setidaknya menggapai tiga tujuan. Pertama, menjadi ikon pendukung pengembangan pariwisata. "Arsitektur yang khas bisa menjadi landmark yang menarik perhatian wisatawan," kata dia.
Kedua, sebagai bagian dari transfer pengetahuan dari arsitek nasional kepada arsitek setempat. Secara bertahap, diharapkan semua bangunan di Banyuwangi, seperti ruko dan rumah makan, juga memiliki konsep arsitektur yang jelas.
"Bangunan-bangunan dengan arsitektur khas bisa menjadi contoh bagi swasta dan masyarakat. Masyarakat bisa meniru konsepnya yang sederhana, namun tetap ikonik. Yang bagus tidak harus mahal," tegas Anas.
Ketiga, secara fungsional dan daya guna, bangunan bisa terjaga keberlanjutannya dengan prinsip efisiensi. Terminal bandara ini menggunakan energi sehemat mungkin sesuai konsep rumah tropis yang mengutamakan penghawaan alami.
"Pengelolaan dan pemeliharaannya efisien, karena tak banyak menyedot energi, hampir tidak pakai pendingin ruangan. Plat beton atap juga lebih awet karena terlindung dari panas langsung dengan adanya tanaman," ujarnya.
Terminal bandara tersebut, papar Anas, lebih menonjolkan desain pasif untuk menghemat energi daripada menggunakan teknologi penghemat konsumsi energi. "Desain interior dikonsep minim sekat untuk memperlancar sirkulasi udara dan sinar matahari. Juga ada kolam-kolam ikan untuk mengoreksi tekanan udara, sehingga suhu ruang tetap sejuk," jelasnya.
Dia menambahkan, terminal hijau ini makin ikonik karena mengadopsi konsep atap rumah Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) yang juga menunjukkan ciri bangunan tropis.
"Kearifan lokal diadopsi untuk menumbuhkan cinta seni-budaya Banyuwangi. Budaya masyarakat yang selalu mengantar atau menjemput kerabatnya saat bepergian juga diadopsi dengan menyediakan anjungan luas. Jadi semuanya tidak akan terlantar di bandara," ujarnya.
Salah satu hal yang cukup menjadi perhatian adalah soal pemeliharaan. Untuk mendapatkan pemeliharaan terbaik, Anas menginginkan perawatan dengan standar internasional. Penggunaan kayu sebagai ornamen dan banyaknya bagian yang terbuka harus dapat dirawat dengan baik. Demikian pula tanaman yang melingkari hampir setiap sudut dan atap terminal.
"Artinya, perawatannya tidak cuma soal kebersihan, tapi juga harus menjaga tanamannya," pungkas Anas.
Akhir tahun 2016 Wapres Jusuf Kalla menyempatkan diri mengunjungi Bandara tersebut. Pengembangan bandara yang mengusung konsep green arsitecture tersebut, diapresiasi oleh orang nomor dua di negeri ini. Menurutnya, pengembangan bandara Blimbingsari tersebut sudah cukup, tinggal menambah penguatan saja.
"Bandaranya sudah cukup, tinggal penambahan penguatan saja," ungkap Jusuf Kalla merujuk pada kondisi ketebalan landasan dan perpanjangan runway yang direncanakan akan ditingkatkan pada awal tahun depan.
Pembangunan Bandara Blimbingsari, lanjut Jusuf Kalla, memiliki posisi strategis untuk menunjang penerbangan di wilayah Jawa Timur selatan. "Bandara ini strategis untuk menunjang penerbangan di Jawa Timur sisi selatan. Seperti Situbondo dan Bondowoso, tak perlu ke Surabaya dulu untuk terbang. Cukup lewat Banyuwangi," paparnya.
Bahkan Pemkab Banyuwangi meraih penghargaan atas komitmennya dalam melakukan akselerasi pengembangan Bandara Blimbingsari. Keberadaan Bandara Blimbingsari dinilai bisa meningkatkan konektivitas di daerah yang terletak di ujung timur Pulau Jawa tersebut. 'Bandara Award' tersebut diberikan oleh sebuah media yang fokus di bidang kebandaraan. Acara pemberian penghargaan dihadiri Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada akhir November tahun lalu.
Bandara Blimbingsari berdiri di atas lahan seluas 4 hektar dengan kapasitas 250 ribu penumpang. Setiap harinya, terdapat 3 flight yang melayani rute Banyuwangi-Surabaya pp. Tercatat penumpang melonjak hingga 1.308 persen dari hanya 7.826 penumpang (2011) menjadi 110.234 penumpang (2015). Hingga November 2016, bandara tersebut telah melayani lebih dari 102.000 penumpang.