MK tolak uji materi perkawinan beda agama
Hakim konstitusi menilai keabsahan sebuah perkawinan beda agama tetap dalam wilayah agama itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi (judicial review) mengenai perkawinan beda agama yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Permohonan uji materi yang teregister 68/PUU-XII/2014 dimohonkan mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum UI. Dalam UU tersebut, dicantumkan mengenai syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama.
"Mahkamah menyatakan menolak sepenuhnya permohonan pemohon," ujar ketua majelis hakim konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang MK, Jakarta, Jumat, (18/6).
Dalam pertimbangannya, sembilan hakim MK menilai, negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.
Namun demikian, hakim konstitusi menilai keabsahan sebuah perkawinan beda agama tetap dalam wilayah agama itu sendiri. Negara dalam hal ini hanya bertindak sebagai pengesah administratif.
"Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan UU menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara," lanjut Arief.
Di tempat yang terpisah, salah satu pemohon yakni Damian Agata Yufens mengaku menghormati putusan hakim MK. Namun, kata dia, putusan tersebut akan mengembalikan hukum pada pola lama yakni tidak ada status hukum yang jelas bagi pasangan yang menikah beda agama.
"Kita hormati keputusan hakim dan kita pelajari kembali. Namun kita tetap kembali pada pola lama di mana setiap pasangan yang menikah akan terus mencari kantor catatan sipil mana yang mau menulis akta perkawinan mereka," pungkas dia.