Nama Rano Karno makin santer disebut dalam korupsi Alkes Ratu Atut
Sidang kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di rumah sakit yang ditunjuk Pemprov Banten kembali digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (16/6) kemarin. Dalam persidangan tersebut, nama Rano Karno kembali disebut terlibat dalam kasus tersebut.
Sidang kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di rumah sakit yang ditunjuk Pemprov Banten kembali digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (16/6) kemarin. Dalam persidangan tersebut, nama Rano Karno kembali disebut terlibat dalam kasus tersebut.
Sidang kemarin mengagendakan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah digelar. Dalam persidangan itu, JPU menuntut Atut dengan hukuman delapan tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah.
Di persidangan, Jaksa Penuntut Umum Budi Nugraha membeberkan ada 14 orang yang diuntungkan dari korupsi tersebut. Mereka terdiri dari pihak swasta dan aparat pemerintahan. Menurutnya, keuntungan itu diperoleh atas perbuatan Atut bersama sang adik, Chaeri Wardana alias Wawan, yang saat itu memiliki posisi sebagai Komisaris Utama PT Balipasific Pragama.
"Akibat perbuatan terdakwa bersama-sama Tubagus Chaeri Wardhana Chasan alias Wawan dalam proses pengusulan dan pelaksanaan anggaran pengadaan Alkes tahun anggaran 2012 telah menguntungkan terdakwa Rp 3.859.000.000 dan orang lain," kata Budi Nugraha saat membacakan tuntutan Ratu Atut di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, kemarin.
Selain Atut dan Wawan, Budi juga membeberkan Rano Karno yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten adalah salah satu orang yang diuntungkan. Menurutnya, Rano Karno yang menggantikan Atut sebagai Gubernur itu mendapat keuntungan Rp 700 juta.
Angka tersebut berbeda dengan surat dakwaan yang menyebut Rano Karno mendapat Rp 300 juta. Jaksa Budi menyampaikan perbedaan jumlah penerimaan uang oleh Rano berdasarkan fakta persidangan dari sejumlah saksi saat hadir di persidangan.
"Iya itu fakta persidangan, satu saksi saling berkaitan dengan lainnya," katanya seusai sidang.
Pada surat dakwaan terhadap terdakwa Atut Chosiyah, JPU mencantumkan nama Rano Karno ikut menerima uang sebesar Rp 300 juta. Surat dakwaan dibacakan dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/3) lalu.
Meski demikian, dalam surat dakwaan Ratu Atut tersebut, JPU tidak membeberkan peran Rano Karno dalam korupsi itu. Rano disebut menerima uang dari Wawan melalui Yuni Astuti, pemilik PT Java Medica, salah satu rekanan Dinas Kesehatan Pemprov Banten.
Kemudian, pada sidang terhadap Ratu Atut Chosiyah yang digelar Rabu (15/3) lalu, Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Banten, Djaja Buddy Suhardja, menyebut Rano menerima duit Rp 700 juta dalam korupsi tersebut.
Saat itu JPU menanyakan kebenaran kabar soal fee 0.5 persen dari APBD dan APBD-P 2012 sebesar Rp 235,52 miliar buat Rano. Djaja pun membenarkannya. Dia mengatakan seluruh uang yang diberikan kepada Rano berasal dari Dadang Prijatna, staf PT Balipasific Pragama, perusahaan yang dimiliki adik Atut, Wawan.
Menurutnya, setelah ada komitmen fee 0.5 persen itu, Dadang pernah berkata kepadanya Rano akan sering meminta uang kepada Sekretaris Dinas Kesehatan Banten, Ajat Drajat Ahmad Putra. Permintaan itu dilakukan melalui sambungan telepon lewat ajudan Rano yang bernama Yadi. Setelah menerima telepon, Ajat lantas melapor kepada Djaja lalu kemudian bersambung ke Dadang.
Setelah itu, lanjutnya, Dadang menyerahkan uang melalui Djaja. Dia mengakui setidaknya ada empat kali penyerahan uang buat Rano. Pertama Rp 150 juta pada November 2012, kedua Desember 2012 yang terjadi dua kali penyerahan yakni Rp 50 juta dan Rp 350 juta. Kemudian yang terakhir, sekitar Maret atau April 2013. Saat itu Djaja menyerahkan Rp 150 juta kepada Rano di rumah dinasnya.
"Menyerahkan langsung kepada beliau," katanya.
Kemudian pada sidang yang digelar Rabu (29/3), JPU bertanya kepada saksi Dadang Prijatna mengenai pemberian uang dalam proyek tersebut.
Saat itu, JPU menunjukkan barang bukti berupa catatan berisi nama-nama dan catatan mengenai pemberian uang. Dalam daftar tersebut, ada beberapa nama yang ditulis dengan menggunakan kode. Dua di antara kode itu yakni A1 dan A2.
Dadang pun membeberkan bahwa kode A1 dan A2 itu untuk Ratu Atut dan Rano Karno.
"Bu Atut dan Rano Karno," kata Dadang saat ditanya JPU.
Dia membeberkan permintaan uang buat Atut disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Banten, Djadja Buddy Suhardja. Atut meminta jatah sebesar 2,5 persen dari nilai proyek, atau sekitar Rp 3,8 miliar.
Rano sendiri pernah membantah kecipratan duit korupsi Alkes. Dia membantah semua kesaksian yang disampaikan Djaja di persidangan.
"Saya membantah keras semua tuduhan yang disampaikan saudara Djaja, yang sudah menandatangani surat pernyataan loyalitas pada Ratu Atut Chosiyah, di hadapan Saudara Tubagus Chaeri Wardana," kata Rano Karno dalam keterangan tertulis, Kamis (16/3) lalu.
Rano mengimbau Djaja bisa membebaskan dirinya dari sandera ataupun tekanan berbagai pihak dalam memberikan kesaksian di muka pengadilan. Rano mengaku, selama menjabat sebagai Wagub Banten hanya dua kali bertemu dengan Djaja dan disaksikan banyak orang.
Rano menilai ada kejanggalan dalam kesaksian Djaja. Sebelumnya, Rano pernah disebut menerima Rp 300 juta. Namun kemudian, Djaja menyatakan Rano menerima Rp 700 juta.
"Saya mempertanyakan inkonsistensi tuduhan yang disampaikan saudara Djaja atas diri saya. Saya meminta saudara Djaja mempertanggungjawabkan tuduhannya seraya menjelaskan kapan saya menyampaikan permintaan uang itu kepada saudara Djaja sebagaimana yang dituduhkan kepada saya," katanya.
Dia menjelaskan korupsi alat kesehatan terjadi pada tahun anggaran 2011-2012. Sementara, pelantikannya sebagai Wagub Banten berlangsung pada 11 Januari 2012.
"Saya percaya KPK sudah dan akan terus bekerja secara profesional dan teliti dalam meminta pertanggungjawaban hukum dari semua pihak yang terkait dengan kasus tersebut. Saya yakin, KPK tidak akan mencampuradukkan fakta hukum dengan fitnah," katanya.