Pandemi Covid-19 Berisiko Menaikkan Kasus Kekerasan Pada Anak
Untuk risiko kekerasan terhadap anak, lanjutnya, kerentanan terjadi karena di masa pandemi, hampir seluruh aktivitas anak dilakukan di rumah. Sementara tidak semua anggota keluarga siap dengan kondisi ini.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, pandemi Covid-19 berisiko menyebabkan naiknya kasus kekerasan terhadap anak. Dia mencatat ada lima risiko yang rentan dialami anak akibat pandemi Covid-19.
“Pertama adalah risiko meningkatnya kekerasan terhadap anak," katanya di Samarinda, Sabtu (26/6).
-
Kapan anak yang terinfeksi gondongan bisa menularkan virus? Anak yang terinfeksi bisa menularkan virus sejak beberapa hari sebelum gejala muncul hingga lima hari setelah gejala berakhir.
-
Bagaimana cara mengobati sariawan pada anak? Melansir dari berbagai sumber, berikut ini merdeka.com merangkum informasi tentang 8 obat sariawan anak yang efektif.
-
Apa saja tanda cacingan yang dialami oleh anak? Anak kecil yang terkena cacingan biasanya cenderung mengalami diare atau sembelit yang berkepanjangan. Adapun diare tersebut disertai dengan lendir ataupun darah. Selain itu, anak juga akan mengeluhkan perut kembung dan rasa nyeri pada perut.
-
Dimana kekerasan pada anak dilarang? Banyak negara telah mengesahkan undang-undang yang melarang kekerasan terhadap anak.
-
Apa masalah kesehatan serius yang banyak dihadapi anak-anak Indonesia? Dokter spesialis anak divisi endokronologi dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), mengungkapkan bahwa diabetes tipe 1 merupakan masalah serius yang paling umum dihadapi anak-anak Indonesia.
-
Bagaimana cara mengatasi gangguan kecemasan pada anak? Cara Mengatasi Gangguan Kecemasan pada Anak 1. Berikan Perhatian PenuhApabila terdapat tanda-tanda gangguan kecemasan pada anak, berikan perhatian penuh padanya karena ia sangat membutuhkan perhatian ekstra terutama pada apa yang ia rasakan. 2. Tetap Tenang Ketika gangguan kecemasan pada anak terjadi, orang tua atau pun kerabat yang ada di sekitarnya haruslah tetap tenang.(Foto : istockphoto.com) 3. Berikan Pujian Selalu berikan apresiasi atau apapun usaha yang telah anak lakukan. Hal itu akan membantunya untuk perlahan bangkit dari gangguan kecemasan pada anak.(Foto : istockphoto.com) 4. Tidak Menghukum Sembarangan Apabila anak mengalami perkembangan yang kurang dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, jangan menghukumnya. Orang yang ada di sekitarnya memiliki tanggung jawab yang besar untuk membantunya agar tidak menjadi gangguan kecemasan pada anak. Beritahu dan peringatkan anak dengan bahasa yang baik dan lembut. 5. Ubah Ekspektasi Jangan terlalu menaruh harapan yang sangat tinggi kepada anak, bantu ia menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang sedang dialami agar tidak terjadi gangguan kecemasan pada anak.(Foto : istockphoto.com) 6. Bersiap untuk Segala Perubahan Luangkan waktu untuk anak dalam segala perubahan yang sedang ia alami agar ia tidak mengalami gangguan kecemasan pada anak dan mengetahui bagaimana penanganan terhadap situasi yang sedang dialami.(Foto : istockphoto.com)
Untuk risiko kekerasan terhadap anak, lanjutnya, kerentanan terjadi karena di masa pandemi, hampir seluruh aktivitas anak dilakukan di rumah. Sementara tidak semua anggota keluarga siap dengan kondisi ini.
Hal itu terjadi karena ada anggota keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tekanan ekonomi. Sehingga pelampiasannya kemudian ke anak atau anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Risiko kedua adalah berhubungan dengan psikososial anak. Yakni banyak anak yang mengalami gangguan psikososial dan kesehatan mental, akibat dari mereka tidak bisa bermain baik di sekolah maupun di lingkungan rumah.
"Ini terjadi karena adanya pengkondisian belajar dari rumah menggunakan handphone (HP) yang kemudiannya anak terbiasa menggunakan HP. Jika peran orang tua lemah ketika belajar secara daring, maka akan memperburuk kondisi," jelasnya seperti dilansir dari Antara.
Ketiga adalah risiko hilangnya pengasuhan. Akibat dari kebiasaan tatanan kehidupan berubah, maka tidak semua pribadi siap menjalani, sehingga peran pengasuhan oleh orang tua juga mengalami perubahan.
Dalam hal ini, ada sebagian orang tua membiarkan aktivitas setelah melihat anak diam, padahal belum tentu diamnya anak itu baik, bisa jadi diamnya anak karena kecanduan game online, terpapar pornografi atau lainnya.
Keempat adalah risiko meningkatnya tantangan untuk mengakses layanan bagi anak, khususnya aksesibilitas layanan kesehatan dan pendidikan, karena saat ini angka capaian imunisasi menurun akibat kebijakan PPKM.
"Kelima adalah risiko stigmatisasi pada anak terdampak dan keluarganya, yakni terjadi stigmatisasi pada anak jika dirinya atau anggota keluarganya ada yang terpapar COVID-19 sehingga anak kemudian dikucilkan," tutup Noryani.
(mdk/fik)