Pansus Pelindo II diminta batalkan perpanjangan kontrak JICT
Saham HPH tetap mayoritas sebesar 51 persen dan Pelindo II 49 persen. Jangka waktu berakhirnya konsesi menjadi 2039.
Polemik perpanjangan kontrak antara PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH) terus terjadi. Pasalnya, PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) (Persero) memperpanjang lebih cepat yakni tahun 2014 dari perjanjian semula pada tahun 2019.
Terkait hal itu, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta meminta agar Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II membatalkannya. Pasalnya hal itu telah merugikan negara.
"Pansus harus kembalikan kepemilikan saham 100 dimliki oleh negara," ujar Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Yogyakarta Fahmi Radhy seperti dilansir Antara, Rabu (4/11).
Fahmi mengungkapkan, perpanjangan konsesi yang dilakukan secara sepihak oleh Dirut PT Pelindo II RJ Lino pada 2014 silam dengan nilai penjualan USD 215. Nilai itu lebih kecil dibandingkan dengan nilai penjualan pada 1999 yang USD 243.
Selain itu, lanjut Fahmi, kepemilikan saham selama 15 tahun tanpa ada komitmen melakukan disinvestasi, sehingga komposisi kepilikan saham tidak berubah sama sekali, HPH tetap mayoritas sebesar 51 persen dan Pelindo II 49 persen. Jangka waktu berakhirnya konsesi menjadi 2039.
"Perpanjangan JICT merugikan negara karena nilainya 215 dolar AS, lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar 231 dolar AS. Jika tidak diperpanjang dan 100 persen saham dimiliki Pelindo II," tuturnya.
Perpanjangan kontrak, lanjut Fahmi, dilakukan secara tertutup sehingga sudah pasti melanggar prinsip transparansi, serta melanggar Pasal 27 Peraturan Menteri BUMN. Melanggar Undang-Undang Nomor 17/2008 tentang Pelayaran, Pasal 82, Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai wakil pemerintah adalah pihak yang memberikan konsesi pelabuhan, bukan Pelindo II.
"Keputusan perpanjangan JICT melanggar persyaratan pendahuluan tentang persetujuan dari Menteri BUMN dan atau perizinan dari instansi pemerintah lain, seperti diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran," bebernya.
Fahmi juga membeberkan pelanggaran lain yang dilakukan Lino yakni, melanggar Keputusan Menteri Perhubungan selaku OP yang memutuskan kontrak konsesi yang sudah habis agar tidak lagi dikerjasamakan dengan asing, tetapi dikelola oleh anak bangsa secara mandiri.
Selain itu, mengabaikan rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dalam suratnya Nomor LAP697/D502/2/2012 mengatakan bahwa perpanjangan konsesi itu berpotensi merugikan negara.
"Pansus harus usut tuntas indikasi pelangaran pidana dan potensi suap di balik keputusan sepihak� perpanjangan JICT Pansus harus menemukan adannya pihak-pihak yang 'membekingi' keputusan perpanjangan JICT," tandasnya.