Pentingnya Upaya Lindungi Korban Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan
Kemendikbud Ristek menyatakan, aturan tersebut guna memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Kemendikbud Ristek menyatakan, aturan tersebut guna memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kita,” kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/11).
-
Apa bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa filsafat UGM? Dalam video itu, si pria mengaku ada delapan orang korbannya. Pria itu juga meminta maaf atas kekerasan seksual baik secara fisik maupun verbal yang telah dilakukannya.
-
Bagaimana cara Fakultas Filsafat UGM menangani kasus pelecehan seksual? Pada prinsipnya Fakultas Filsafat UGM konsisten untuk penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Laporan tentang adanya korban dan lain sebagainya belum ada," urai Iva.
-
Mengapa para pemijat difabel netra di Yogyakarta rentan terhadap pelecehan seksual? Arya sendiri tidak tinggal di losmen, melainkan di asrama sekolah dengan biaya yang cukup murah. Rawan terkena pelecehan Di tahun yang sama, Arya pertama kali memperoleh pengalaman tak menyenangkan dilecehkan oleh salah seorang pasiennya. Hari sudah hampir malam ketika ia sedang bersiap memulai kerja lepasnya sebagai pemijat di losmen itu. Tak lama kemudian, datanglah seorang pasien. Dari suaranya, Arya menduga kalau ia adalah seorang lelaki paruh baya.
-
Siapa yang diduga melakukan pelecehan seksual? Video itu berisikan pengakuan dan permintaan maaf seorang pria atas pelecehan seksual yang dilakukannya.
-
Bagaimana pelaku melakukan pelecehan seksual? Korban penyandang disabilitas tidak bisa berteriak atau menolak. Dia merasa takut dan ketergantungan," katanya.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Keberadaan aturan tersebut dinilai Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) penting di tengah maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Seperti dialami mahasiswi yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual seorang dosen di Universitas Riau (Unri) yang sedang viral di media sosial. Pihak rektorat langsung membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus itu.
Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi UNRI itu pun diapresiasi Komnas Perempuan. Harapannya, selain proses di internal kampus, kehadiran Permendikbud 30/2021 menjadi membuat kasus pelecehan seksual di kampus seperti dialami mahasiswa di Riau dapat ditindaklanjuti.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, pada dasarnya aturan itu untuk mewujudkan kampus yang aman, sehat, dan nyaman dari berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terutama kekerasan seksual. Hal ini seturut dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk mengawal dan memastikan Permendikbud dilaksanakan dan mencapai tujuannya untuk mencegah, menangani dan memulihkan korban kekerasan seksual," kata Siti saat dihubungi merdeka.com, Rabu (10/11).
Meski dianggap baik, sejumlah kalangan menilai berbeda. Oleh sebagian orang, frasa 'tanpa persetujuan' korban dianggap mempersulit korban memperoleh keadilan. Bahkan, aturan itu juga dinilai melegalkan zina.
Siti menilai Permendikbud tersebut justru memperkuat posisi korban. Dia menjelaskan yang dimaksud pasal 5 ayat 2 pada Permendikbud tersebut adalah jika korban ‘memberikan persetujuan’ atas tindakan-tindakan kekerasan sesku dalam kondisi mabuk atau tidak dalam kondisi tidak penuh kesadaran karena alkohol atau obat-obatan atau narkoba, maka persetujuannya tersebut tidak sah. Tindakan pelaku yang lantas memanfaatkan kondisi korban itulah, katanya, tetap tidak bisa dimaafkan. Harus disanksi.
"Ini memperkuat posisi korban bahwa kondisi kerentanan dan ketidakberdayaan korban, tidak boleh dijadikan alasan bahwa aktivitas seksual dilakukan atas dasar suka sama suka," ujar dia.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, juga merasa janggal ketika aturan itu dikaitkan dengan melegalkan zina. Dia menganggap, sejumlah narasi yang menolak terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ranah kampus justru dapat berpotensi menyerang korban.
"Narasi penolakan aturan ini justru berpotensi menyerang korban. Dengan mendasarkan kekerasan seksual pada aspek adanya perkawinan/sesuai norma, korban akan sulit memperoleh keadilan karena akan distigma terlibat dalam hubungan tidak legal, moralitasnya akan digali, korban akan dikotak-kotakan dan terus direndahkan ketika melaporkan kasusnya, ketimbang memberikan ruang aman bagi korban," kata Maidina dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Padahal berdasarkan survei Kemendikbud 2020, lanjut Maidina terdapat 63 persen korban kekerasan seksual di kampus tidak melaporkan kasusnya kepada pihak kampus karena minimnya ruang aman bagi korban. Hal inilah yang justru ingin diselesaikan dengan keberadaan Permendikbud ini.
Pada prinsipnya mendasarkan kekerasan seksual pada ketiadaan consent atau persetujuan, menurut Maidina sama dengan memberikan ruang aman bagi korban manapun. Meskipun pada prinsipnya korban seharusnya tidak dinilai berdasarkan pemenuhan dirinya terhadap norma-norma yang ada, namun selama ini hal tersebut menjadi penghalang utama seseorang dapat disebut sebagai ‘korban’.
"Padahal, penyematan dan pengkategorian sebagai ‘korban’ menjadi sangat penting di dalam sistem perlindungan di Indonesia," ujar dia.
Maidina berpendapat bahwa Permendikbud ini telah tepat dalam memasukkan elemen persetujuan ke dalam definisi kekerasan seksual. Tanpa adanya elemen persetujuan, sistem yang telah dibangun tidak akan dapat dijalankan, dikarenakan korban akan terlebih dahulu ‘dihakimi’ berdasarkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan norma, juga bias terhadap relasi kuasa yang ada.
"Langkah yang diambil oleh Kemenristekdikti dan Kemenag sudahlah tepat. Aturan-aturan ini harus terus didukung," tandasnya.
Kemenag pun berpandangan serupa. Malah dengan tegas Sekretaris Jenderal Kementerian, Agama Nizar Ali, mengatakan tak ada alasan lembaganya untuk tidak mendukung Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang telah diteken Menteri Nadiem Makarim.
"Karena itu, aturan ini sangat bagus. Memberikan perlindungan pada kaum perempuan dari tindakan-tindakan kekerasan seksual. Maka, Kementerian Agama tidak ada alasan untuk tidak mendukung," ujar Nizar Ali.
Agar tak menjadi polemik berkepanjangan, dia menyarankan aturan itu dibaca utuh dan benar-benar dipahami. Justru, katanya, Permendikbud ini memberi ruang dan payung bagi para korban kekerasan seksual agar berani berbicara serta dapat mengakomodir hak-hak korban.
Menteri Nadiem Luruskan Narasi Legalkan Zina
Nadiem akhirnya meluruskan polemik yang muncul setelah Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 dia tanda tangani dan dianggap melegalkan zina. Nadiem menegaskan Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak bermaksud melegalkan perzinaan.
"Salah satu hal yang terpenting di sini, seperti ada saya mendengar sekali dari masukan berbagai macam pihak yang merasa kalau misalnya ada perkataan-perkataan di dalam ini (permendikbudristek) yang bisa melegalkan atau mungkin menghalalkan tindakan asusila, itu sama sekali bukan maksud dari Permen ini," katanya.
Dia memastikan aturan ini justru berfokus pada melindungi hak-hak korban. Dia tegaskam pula, kementeriannya tidak mendukung segala tindakan asusila dan hal yang melenceng dari norma agama. Menurutnya, anggapan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dianggap melegalkan zina perlu diluruskan.
"Satu hal yang perlu diluruskan juga mohon menyadari bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sama sekali tidak mendukung apapun yang tidak sesuai dengan norma agama dan tindakan asusila," ujarnya dalam diskusi 'kampus merdeka dari kekerasan seksual', Jumat (12/11).
Nadiem kemudian menjelaskan alasan diterbitkannya aturan ini. Data Ditjenristek, katanya, 77 persen dosen dari seluruh universitas mengakui kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Membuat miris, 63 persen kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak dilaporkan.
Bahkan dia menyebut, kekerasan seksual di lingkungan kampus bak fenomena gunung es.
"Kita melakukan survei kepada dosen, bukan mahasiswa. Kalau mahasiswa mungkin angkanya lebih besar lagi, kita menanyakan dosen-dosen kita, apakah kekerasan seksual pernah terjadi di kampus Anda.
Nadiem mengajak, setelah aturan ini diterbitkan, baik korban mauoun pihak kampus lebih berani bersuara mana kala menghadapan dengan kasus kekerasan seksual yang melibatkan warga kampus.
"Untuk bilang tidak kepada pelaku kekerasan seksual dan untuk memberikan peringatan yang sangat tegas untuk mereka yang memikirkan melakukan hal-hal seperti ini bisa dilakukan di dalam kampus," kata Nadiem.
"Permen ini adalah refleksi dari hasil tersebut, permen ini adalah suatu sinyal kepada civitas akademika kita bahwa pemerintah hadir untuk melindungi anda, pemerintah hadir untuk melindungi kita dan masa depan generasi penerus bangsa," pungkasnya.