Perbaiki Kualitas Berita, AMSI Tawarkan Ide Berita Berbayar
Mekanisme ini disebut Wens, cenderung lebih ramah karena tak terpengaruh harus berebut pembaca mengikuti pakem-pakem algoritma ala mesin pencarian dan media sosial yang memancing wartawan untuk membuat konten berita dengan kualitas buruk.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut menawarakan ide berita berbayar. Hal ini lantaran semakin menurunnya kualitas berita disebabkan mengikuti algoritma mesin pencarian dan media sosial.
"Saya berpikir bahwa mengapa kita enggak paywall, kenapa kita enggak berbayar? Seperti Washington Post, seperti New York Time, lain-lain lah," kata pria yang akrab disapa Wens itu dalam acara Konferensi Nasional Komunikasi Humanis, Kamis (19/11).
-
Siapa yang meresmikan Media Center Indonesia Maju? Menteri Investas Bahlil Lahadalia meresmikan media center Indonesia Maju, yang beralamatkan di Jalan Diponegoro, Nomor 15A, Menteng, Jakarta Pusat.
-
Kenapa Dirjen APTIKA Kominfo mundur? Keputusan itu diambil sebagai bentuk tanggung jawab moral atas insiden penyanderaan data di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 Surabaya.
-
Kenapa produksi ASI bisa tersendat? Stres pada ibu menyusui bisa menyebabkan produksi ASI jadi tersendat.
-
Mengapa munculnya stasiun televisi swasta membawa dampak besar di industri pertelevisian Indonesia? Namun, dengan perkembangan teknologi dan tuntutan akan variasi program, masyarakat mulai menginginkan adanya pilihan yang lebih beragam. Hal ini mendorong lahirnya stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, ANTV, dan Indosiar.
-
Apa yang dilakukan Rumiyati Ningsih di media sosial? Jadi Seorang Selebgram Tuh, beda banget sama suaminya yang kerja di film, Rumiyati malah asyik banget di sosmed, sekarang jadi selebgram nih.
-
Apa yang diproyeksikan oleh Menkominfo terkait AI di Indonesia? Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, mengatakan Artificial Intelligence (AI) memiliki peran besar dalam mengubah lanskap industri telekomunikasi. Kata dia, pada 2030 mendatang, diproyeksikan kontribusi AI terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global mencapai USD 3 triliun.
Mekanisme ini disebut Wens, cenderung lebih ramah karena tak terpengaruh harus berebut pembaca mengikuti pakem-pakem algoritma ala mesin pencarian dan media sosial yang memancing wartawan untuk membuat konten berita dengan kualitas buruk.
Akan tetapi hal itu bukan tanpa hambatan. Masalahnya adalah karena suplai berita banyak, maka masyarakat akan sulit untuk mau membayar demi berita.
"Problem di kita itu satu ini over supply. Jumlah medianya terlalu banyak sehingga menyulitkan. Jadinya banyak (media) yang gratis, akan susah orang (mau) membayar," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum AMSI itu menilai algoritma pada mesin pencarian di internet begitu mengganggu kualitas berita. Pasalnya konten berita yang ditulis oleh seorang wartawan supaya dapat mudah ditemukan pembaca harus mengikuti pakem-pakem algoritma yang telah ditentukan.
"Yang kita bayangkan orang datang ke Google, bawa dengan keyword, Google bilang supaya berita anda itu ada di halaman pertama atau paling atas, itu keyword yang dicari itu harus ada di judul. Supaya berita itu ada di atau halaman pertama, keyword itu sesering mungkin muncul di body tulisan anda. Lebih bagus kalau keyword itu nongol dua kali di judulnya. Kan kacau sekali judul berita kalau mengikuti semua syarat dari si algoritma itu. Algoritma ini jelas mengganggu kualitas berita," ujar Wens.
Menurut Wens, hal ini akhirnya memaksa para wartawan untuk belajar search engine optimizer atau SEO. Di mana sebagai rumusan-rumusan dalam menulis agar dapat ditemukan pembaca di mesin pencarian.
"Sekarang juga wartawan harus belajar soal itu, SEO itu. Tidak cukup hanya belajar menulis, dia harus belajar SEO, dia harus belajar cara pikirnya Google, dan juga harus belajar cara pikirnya Facebook, kalau tidak gak akan ketemu dengan pembaca tulisan dia," ujar Wens.
Algoritma dalam Facebook yang menitikberatkan pada 'engagement' misalnya seperti comment, share dan juga like, juga berpotensi mengamplifikasi ujaran kebencian ataupun hoaks.
"Bayangin aja, kalau hate speech, kalau hoax itu tinggi engagement-nya, maka daya sebenarnya akan semakin cepat menggunakan rumusan algoritma seperti ini," jelas Wens.
Jika mekanisme ini dilanggengkan, maka menurut Wens lama-kelamaan akan mempengaruhi sikap wartawan dalam menulis konten berita. Imbasnya mereka akan tergoda membuat berita dengan kualitas rendah asalkan dapat meraup banyak pembaca.
"Eh agar berita itu viral, gini loh caranya. Engagement-nya harus diperhatikan. Mereka tergoda untuk bikin click bait, mereka tergoda untuk bikin berita menimbulkan polemik dan mengorbankan kualitas, karena ada algoritma engagement ini salah satunya," papar dia.
Muaranya, lanjut Wens jurnalis akan disetir oleh publik, bukan malah yang seharusnya yakni jurnalisme yang dikontrol oleh standar jurnalisme yang berlaku. Dan media akhirnya menulis apa yang disukai publik ketimbang apa yang seharusnya.
"Pada akhirnya justru media atau jurnalisme disetir oleh publik, bukan disetir oleh rumusan jurnalisme. Yang makin disukai diklik banyak orang, dikonter banyak orang, makin tinggi di-share itu yang diproduksi oleh media," ucap Wens.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com