Pimpinan KPK Laode Syarif tiba-tiba sambangi Mahkamah Agung
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif tiba-tiba menyambangi Gedung Mahkamah Agung, Jumat (6/10). Laode tiba sekitar pukul 10.39 WIB.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif tiba-tiba menyambangi Gedung Mahkamah Agung, Jumat (6/10). Laode tiba sekitar pukul 10.39 WIB.
Laode terlihat mengenakan batik lengan panjang. Dia menggunakan mobil hitam bernomor polisi B 1724 RFZ.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah mengaku tidak tahu kedatangan Laode. Dia juga tidak mengetahui tujuan kedatangan pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
"Saya tidak tahu (Laode datang). Saya kan di sini (Media Center Mahkamah Agung), Laode di sana (depan Gedung H)," ujarnya.
Saat ini, Mahkamah Agung tengah menangani laporan Koalisi Masyarakat AntiKorupsi Indonesia. Koalisi Masyarakat Antikorupsi melapor dugaan penyimpangan yang diduga dilakukan Hakim Cepi Iskandar hingga akhirnya memenangkan praperadilan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
"Koalisi Masyarakat AntiKorupsi Indonesia melihat ada dugaan penyimpangan dalam proses pemeriksaan dan putusan praperadilan. Dalam catatan Koalisi, bahwa selama proses pemeriksaan dan putusan yang dipimpin oleh Hakim Cepi patut diduga terjadi kekeliruan atau penyimpangan secara fundamental," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi, Kurnia Ramadhana, Kamis (5/10)
Dugaan penyimpangan antara lain, hakim memeriksa materi praperadilan yang bertentangan dengan KUHAP. Itu dikarenakan sejak awal objek yang dijadikan gugatan sudah melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu penetapan tersangka.
Kemudian, Hakim mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyelidik dan penyidik KPK. Eksepsi yang diajukan oleh KPK seharusnya diterima oleh Hakim Cepi Iskandar. Pasalnya alasan yang diajukan oleh kuasa hukum Setya Novanto untuk melakukan upaya hukum praperadilan adalah tentang penyelidik dan penyidik KPK. Pembahasan ini sudah tidak relevan untuk dibahas lebih lanjut dalam forum persidangan.
Hakim juga dianggap mengabaikan alat bukti yang diajukan KPK. Dalam hal ini hakim tidak seharusnya menolak permohonan KPK untuk memutar rekaman yang menjadi salah satu alat bukti menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Sebab, ada beberapa aturan hukum yang dapat membangun argumen bahwa rekaman tersebut patut untuk diperdengarkan dalam persidangan praperadilan Setya Novanto.
"Rekaman itu menjadi sesuatu yang penting untuk dijadikan dasar bagi KPK menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka," lanjutnya.
Hakim juga dianggap mengabaikan keterangan ahli yang diajukan KPK yakni Bob Hardian Syahbuddin, pakar sistem komputer dan teknologi informasi Universitas Indonesia. Seharusnya pernyataannya didengarkan secara utuh oleh Hakim Cepi Iskandar.
Selain itu, Hakim mempertanyakan hal yang diluar materi praperadilan. Hakim tidak seharusnya menanyakan pertanyaan di luar materi. Saat mendengar keterangan ahli yang diajukan oleh KPK, Feri Amsari, akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Andalas, hakim menanyakan tentang status kelembagaan KPK yang dinilai sebagai lembaga ad-hoc.
Menurutnya, putusan hakim bertentangan dan melanggar KUHAP. Dalam putusan akhir yang dibacakan oleh Hakim Cepi Iskandar menyebutkan bahwa KPK telah melakukan kesalahan saat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, karena menaikkan status hukum seseorang menjadi tersangka harus di tahap akhir penyidikan, bukan awal penyidikan.
Terakhir, Hakim keliru dalam menafsirkan penggunaan barang bukti dalam KUHAP. Sebab, Hakim Cepi Iskandar mengatakan bahwa barang bukti yang disita dalam penyidikan kasus Irman dan Sugiharto (terdakwa kasus korupsi KTP-El lainnya) tidak dapat digunakan dalam kasus yang diduga melibatkan Setya Novanto.