Polemik prostitusi Sanur, setoran buat aparat dan desakan ekonomi
Para pelaku prostitusi sebut setoran buat aparat selalu ada setiap hari. Penutupan dianggap bukan solusi terbaik.
Dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015, tentang Ketertiban Umum, salah satu poinnya adalah membersihkan praktik prostitusi di wilayah Denpasar. Namun, para pelacur di wilayah Sanur, Denpasar Selatan, menganggap remeh penerapan aturan itu.
"Tanpa ada aturan, sudah rutin seminggu sekali kita ini disidak pak. Tidak hanya polisi, juga Satpol PP rutin datang," kata salah seorang PSK di kawasan Blanjong, Denpasar Selatan, berinisial TN, Jumat (13/11).
Menurut TN, kegiatan penertiban cuma main-main. Sebab dia mengaku sudah menjajakan diri sejak 2013.
"Semua di sini setor uang keamanan dan uang tempat. Kalau kita diusir, bungalow-bungalow di sini akan mati. Dapat uang dari mana kalau bukan dari kita. Orang yang antar jemput juga tak punya kerjaan lagi. Dari dulu juga bilang mau ditertibkan, tapi tetap saja kami aman-aman saja. Itu karena kami setor biaya pengamanan," ujar wanita asal Jakarta itu.
Saat disinggung kepada siapa uang keamanan disetorkan, TN mengaku tidak tahu. Dia hanya mengaku saban hari menyisihkan Rp 45 ribu kepada Papi (mucikari) tempat dia menjual diri.
"Tidak penting seberapa banyak saya dapat tamu, pastinya dalam semalam dikenakan uang keamanan Rp 45 ribu. Tak dapat tamu juga setor segitu setiap harinya. Dibawa ke mana uang itu, saya tidak tahu. Semua perempuan di sini dikenakan uang pungutan," ucap TN.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar asal Sanur, I Wayan Mariyana Wandhira, menyatakan pada 2008, seluruh lokalisasi berada di wilayah Sanur, Denpasar, Bali, sempat hendak ditutup. Namun, kata Wandhira, kebijakan itu tidak pernah terjadi.
Waktu itu, lanjut Wandhira, para pemilik kompleks prostitusi, pengusaha panti pijat plus-plus, bungalow, dan lain sebagainya sempat mengeluh. Mereka dipungut uang saban hari dan setiap bulan. Bahkan nilainya mencapai puluhan juta per hari, dan miliaran rupiah per bulan. Duit itu dikeluarkan buat upeti. Soal penerima pungutan itu, Wandhira mengaku mereka sedikit menutupi.
"Setop pungli di lokasi pelacuran jika ingin menertibkan. Setiap hari dan setiap bulan peredaran uang yang dipungut terus dilakukan. Soal benar apa tidak di semua lokalisasi ada pungli, itu sudah pasti ada, tidak perlu bilang tidak tahu karena bukan lagi rahasia umum," kata Wandhira.
Wandhira berharap justru penertiban lokalisasi harus dibicarakan secara matang oleh semua pihak dari berbagai elemen. Menurut dia, banyak pihak berkepentingan tentang lokalisasi prostitusi.
Bahkan, Wandhira menganjurkan penertiban yang tepat adalah pengelolaan yang matang. Sehingga penyebaran penyakit menular seksual dan pungli bisa terkendali dengan baik.
"Apa dengan dibubarkannya lokalisasi pelacuran menjamin penyebaran HIV tidak ada lagi? Apa tidak justru akan makin liar dengan nantinya tercipta prostitusi online? Jika ingin ini berjalan dengan baik, mari kita tata dan kelola dengan baik. Kesehatan dikontrol serta masukan keuangannya juga terkontrol peruntukkannya," ucap Wandhira.