Prajurit Kopassus ini tetap berpuasa di tengah sengitnya perang
Ransel dan senjata yang dibawanya beratnya puluhan kilo. Setiap hari selalu ada kontak tembak dengan musuh.
Masalah toleransi di bulan puasa kini jadi viral di media sosial. Banyak orang berdebat soal tepat atau tidaknya razia terhadap Ibu Eni, seorang pemilik warung makan di Serang.
Teladan dari Sersan Mayor Durman dari Kopassus ini layak dicontoh siapa saja. Serma Durman adalah Caraka Lettu Luhut Binsar Pandjaitan di Kompi A Denpur-1/Parako dalam operasi tempur di Timor Portugis tahun 1975 – 1976.
Sepanjang berlangsungnya operasi, sebagai seorang muslim Durman tetap menjalankan ibadah puasa. Berpuluh kilo beratnya ransel di punggung, tidak pernah membatalkan niatnya untuk terus berpuasa.
Kala itu, perlengkapan yang dibawa setiap prajurit memang cukup berat. Beberapa diantaranya berupa senapan otomatis AK-47, 750 butir peluru kaliber 7,62 mm, 3 magasin lengkung, 2 granat, bekal makan untuk beberapa hari, baju loreng, kaos, sepatu lapangan, dan topi rimba. Belum lagi setiap regu masih harus membawa senapan mesin RPD, peluncur roket RPG-2 buatan Yugoslavia, 60 peluru roket 90 mm, penyembur api lengkap dengan 5 mortir dan 18 butir peluru.
"Operasi yang kami jalankan adalah operasi yang cukup berat dan banyak merenggut korban. Kami di Kompi A mengawali operasi ini pada tanggal 7 Desember 1975 dengan kekuatan 110 orang prajurit. Tapi pada Maret 1976, jumlahnya bersisa menjadi 80 orang saja," beber Luhut dalam akun Facebooknya, Rabu (15/6).
Selama 5 bulan operasi, kompi kami melakukan pertempuran setiap hari. Fierce battle istilahnya. Pertempuran berhadapan dengan pasukan Fretilin yang mempunyai motivasi tempur tinggi, kemampuan serta disiplin menembak prima, dan menguasai medan dengan sempurna.
Di tengah operasi yang melelahkan tersebut selalu ada waktu untuk istirahat makan. Yang kami makan adalah bekal makanan kaleng T-1. Setiap siang Durman dengan setianya membukakan kaleng makanan dan menyodorkannya kepada saya. Ada kalanya juga kami memasak makanan sendiri ketika merasa bosan dengan menu ransum tempur itu. Namun apapun menu kami, Durman tetap berpuasa dan tidak pernah batal.
Penasaran, saya pun bertanya kenapa dia tetap berpuasa di tengah kondisi seperti ini.
"Biar lebih dekat dengan Tuhan," jawabannya yang tidak pernah saya lupakan. Jawaban itu seolah menunjukkan betapa fokusnya dia pada hubungan dengan Tuhan-nya.
Tapi bagi saya, Durman juga telah menunjukkan penghormatannya kepada tugas negara dan atasannya dengan tetap bertempur dan menyediakan makanan bagi saya selaku komandannya di Kompi A. Hebat!
Anak buah saya ini sekarang tinggal di Banten. Terakhir kami bertemu di acara reuni tahun lalu di Cijantung. Jika ada kesempatan, saya ingin Durman dapat menceritakan pengalamannya kepada Saudara-Saudari sekalian sehingga kita dapat belajar bahwa betapa indahnya harmoni di Negeri ini jika kita dapat saling menghormati.
Saya percaya, menghormati sesama manusia adalah juga bagian dari ibadah.