Pro Kontra Ganja untuk Kesehatan
Apakah CBD dapat menangani cerebral palsy? Iya!
Viral sebuah foto seorang ibu yang belakangan diketahui bernama Santi Wirastuti bersama anaknya yang duduk di kursi roda di Car Free Day Jakarta. Dalam foto tersebut, Santi memegang tulisan 'Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis'.
Santi mengaku anaknya tersebut mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak. Kata 'Ganja Medis' menjadi topik perbincangan publik terkait legalitas dan kesehatan. Hingga akhirnya Santi diundang ke DPR dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III dan pakar untuk membahas legalisasi ganja demi kepentingan medis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
-
Apa yang menjadi ancaman kesehatan yang serius bagi Indonesia dan dunia terkait kusta? Penyakit kusta, meskipun termasuk penyakit tropis yang terabaikan, masih menjadi ancaman kesehatan yang signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Makanan berkuah apa yang bisa menghangatkan tubuh di musim hujan? Berikut deretan makanan berkuah yang bisa menghangatkan badan ketika hujan datang.
-
Apa yang diluncurkan oleh BPJS Kesehatan dan Kemenkes untuk mengatasi masalah pengobatan Tuberkulosis? Dalam acara ini diluncurkan Inovasi Pembiayaan Kesehatan Strategis Tuberkulosis melalui metode pendanaan JKN.
-
Apa itu komplikasi dalam dunia medis? Dalam dunia medis, komplikasi merujuk pada kondisi di mana sebuah penyakit memicu penyakit lainnya yang akhirnya memunculkan efek perubahan itu sendiri.
-
Apa yang menjadi fokus utama rekam medis di Mesir Kuno? Paramedis Mesir kuno tidak mengelompokkan penyakit ke dalam berbagai kategori. Tetapi rekam medis mereka fokus pada kasus individu, mencatat gejala-gejala dan efek yang mungkin terjadi.
Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
"Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental," jelasnya, Kamis (30/6). Seperti dikutip dari situs resmi UGM.
Lalu senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
"Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja," ucapnya.
Apakah CBD dapat menangani cerebral palsy? Iya!
Ketua Pembina Yayasan Sativa Profesor Musri Musman angkat bicara terkait hasil kajiannya mengenai ganja medis. Hal itu disampaikan Musri Musman seiring terpantiknya publik akan aksi Santi Warastuti yang viral karena mendorong legalisasi ganja medis untuk anaknya yang menderita cerebral palsy atau lumpuh otak.
Musri menjelaskan, ganja medis melalui CBD oil yang merupakan senyawa nonintoksikasi yang diekstrak dari tanaman ganja (Cannabis sativa) memang dapat menangani cerebral palsy. Hal itu dikarenakan saraf CB1 yang berasal dari selebrum yaitu otak mampu bekerja bersama CB2 dalam saraf tepi.
"Apakah CBD dapat menangani cerebral palsy? Iya! (CBD) akan memberi asupan sinyal (ke otak penderita) agar berjalan sesuai," kata Musri saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (30/6).
Menkes Keluarkan Regulasi Riset Ganja Medis
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin segera menerbitkan regulasi yang mengatur pelaksanaan riset tanaman ganja untuk kebutuhan medis. Upaya ini menyusul desakan ganja digunakan untuk kesehatan.
"Kita sudah melakukan kajian, nanti sebentar lagi akan keluar regulasinya untuk kebutuhan medis," ujar Budi dalam agenda diskusi media di Gedung Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Rabu (29/6) kemarin.
Budi mengatakan tujuan dari regulasi tersebut untuk mengontrol seluruh fungsi proses penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan di dunia medis. Dasar dari keputusan Kemenkes untuk menerbitkan regulasi penelitian tanaman ganja adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada Pasal 12 ayat 3 dan Pasal 13 aturan itu disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dengan peraturan menteri.
Budi meyakini, semua tanaman dan binatang yang diciptakan Tuhan pasti memiliki manfaat untuk kehidupan. Salah satunya morfin, sebagai alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.
"Morfin lebih keras dari ganja, tapi dipakai untuk medis. Ganja itu sebenarnya sama seperti morfin, morfin lebih keras dari ganja, itu kan ada dipakai untuk yang bermanfaat," katanya.
Budi mengatakan manfaat tanaman ganja tergantung pada penggunanya. Jika disalahgunakan, dapat memicu dampak negatif, tidak hanya pada diri sendiri tapi juga masyarakat.
Seperti halnya morfin pada dunia medis yang berfungsi meredam rasa sakit pada luka di tubuh manusia, kata Budi, tanaman ganja pun akan diteliti untuk melihat manfaatnya lewat riset, data serta fakta ilmiah.
"Penelitian morfin itu bagus, untuk enggak sakit kalau ada apa-apa, seperti kita tertembak," katanya dikutip dari Antara.
Budi mengatakan kegiatan penelitian tanaman ganja akan melibatkan kalangan perguruan tinggi untuk menghasilkan kajian secara ilmiah untuk kebutuhan medis.
"Kalau sudah lulus penelitian produksinya, harusnya kita jaga sesuai dengan fungsi medisnya," katanya.
Belum Ada Penyakit yang Obat Primernya Ganja
Berbeda dengan Menkes, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) menanggapi dorongan legalisasi ganja untuk keperluan medis. Menurut IDI, penggunaan ganja untuk kesehatan tidak sepenuhnya aman.
"Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya," kata Ketua Dewan Pertimbangan PB-IDI Zubairi Djoerban dikutip dari akun Twitternya @ProfesorZubairi, Kamis (30/6).
Dia mengatakan, sudah banyak studi tentang ganja. Hasil studi menunjukkan, beberapa ganja bisa menjadi obat. Namun, masih ada ganja yang belum diketahui, terutama ketika berinteraksi dengan obat lain serta tubuh manusia.
"Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," jelasnya.
Zubairi menyebut, sejumlah negara melegalkan ganja untuk medis. Di Amerika Serikat misalnya, Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui satu obat ganja nabati (Epidiolex), yang mengandung cannabidiol murni (CBD) dari tanaman ganja. Obat ini digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka.
FDA juga telah menyetujui dua obat sintetis tetrahydrocannabinol (THC). Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (antimuntah), dan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.
Menurut Zubairi, bisa saja ganja digunakan untuk pengobatan. Namun harus disertai pengawasan dan dosis tidak berlebihan. "Itulah sebabnya penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya," ujarnya.
(mdk/ded)