Ribuan masyarakat Tengger di Malang rayakan hari raya Karo
Hari Raya Karo merupakan cara bagi keturunan Tengger dalam bersyukur atas berkah yang diberikan Tuhan.
Ribuan masyarakat Suku Tengger yang tinggal di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang menggelar upacara Hari Raya Karo ke-238. Upacara dipusatkan di tanah pemakaman desa setempat dengan dihadiri oleh seluruh warga bersama anak keturunan.
Hari Raya Karo merupakan cara bagi keturunan Tengger dalam bersyukur atas berkah yang diberikan Tuhan. Perayaan tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur.
Kegiatan diawali dengan sebuah upacara ritual di rumah kepala desa setempat. Warga yang rata-rata kaum perempuan datang dengan membawa aneka jajanan yang ditata di depan rumah. Acara dihadiri para perangkat desa dengan proses ritual dipimpin oleh seorang dukun desa.
"Ini kita sebut dengan Sedekah Pangonan. Sudah menjadi adat budaya yang dilaksanakan secara turun-temurun," kata Pujianto (42), Kepala Desa Ngadas saat ditemui di rumahnya, Selasa (6/10).
Alam pegunungan Tengger telah memberikan rezeki kepada anak turun Suku Tengger. Sedekah Pangonan ini bentuk rasa syukur kepada alam, tempat mencari rezeki yang dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa.
Jajanan-jajanan yang sudah mendapatkan doa dan mantera dari dukun adat, berikutnya sebagian diserahkan kepada kepala desa. Jajanan tersebut berikutnya dibagikan kepada masyarakat sekitarnya. Sedangkan sebagian lagi akan dijadikan taping atau sesembahan untuk kebun, ternak dan sawah, yang menjadi sumber kehidupan.
Acara dilanjutkan nyadran (ziarah kubur) oleh para perangkat desa ke makam tokoh leluhur desa Ngadas. Ada tiga makam dalam satu cungkup yang dikunjungi yakni Mbah Sedek yang meninggal pada 1824, Mbah Tirun meninggal pada 1831, serta Mbah Asmokerto yang meninggal pada 1970. Sebuah upacara singkat digelar untuk memanjatkan doa, sebelum kemudian menempatkan sesandingan untuk leluhur.
"Dalam sejarahnya desa ini dibuka 1774 oleh leluhur dari Mataram," kata Pujiono.
Seluruh warga desa selanjutnya berduyun-duyun menuju ke tanah makam desa. Warga membawa aneka masakan dalam rantang bersusun yang berisi buah-buahan dan aneka masakan. Satu keluarga berkumpul di makam luluhur masing-masing dengan membawa alas sebagai tempat duduk.
Sebagian membawa payung untuk melindungi diri dari terik matahari. Begitu tiba, sesaat mereka memanjatkan doa, sebelum kemudian mengikuti puncak kegiatan.
Sementara dari rumah kepala desa, beriringan para perangkat dan pemimpin adat berjalan dengan aneka tetabuan. Paling depan, berjalan dua ekor jalan kecak yang bergoyang mengikuti irama tetabuan. Seperti warga yang lain, para rombongan juga melengkapi diri dengan aneka makanan.
Rombongan langsung menuju atas panggung, upacara dimulai dengan dipimpin dukun desa, Sutomo (55) yang didampingi kakaknya, dukun Aman (56). Keduanya memanjatkan mantera-mantera doa sesuai dengan adat. Kekhusyukan doa, membuat masyarakat hening, bahkan hanyut dalam suasana batin masing-masing.
"Semua kebutuhan nafkah telah dicukupi oleh alam Tengger. Sisa dari makanan yang dinikmati di sini sebagian diletakkan di sawah, diberikan kepada ternak. Ini perwujudan terima kasih kepada bumi," kata Dukun Aman usai acara.
Keturunan Suku Tengger tinggal di 48 Desa yang tersebar di 4 Kabupaten, yakni Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Jember. Sementara warga yang menempati Desa Ngadas berjumlah 498 Kepala Keluarga.
"Semua mengikuti dan menjalankan upacara adat seperti ini. Keturunan Tengger terikat dalam adat budaya, sama-sama memiliki dan sama-sama melestarikan," katanya.
Semua agama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Suku Tengger. Secara komposisi di Desa Ngadas, hidup berdampingan antara Islam, Budha dan Hindu.
"Adat ini bukan milik agama, agama apa pun berkembang asalkan bisa mematuhi menghormati adat yang ada," ujarnya.