Rumah proklamasi Rengasdengklok reot dan hendak dijual
"Ada orang Jakarta pernah mau beli berapa pun kalau keluarga buka harga. Pernah maksa ke rumah juga."
Sebuah rumah berlantai batu bata, berdinding papan cat putih dan berpilar kayu cat hijau tak mampu menyembunyikan usianya di antara rumah-rumah warga berdinding semen dan berlantai keramik 200 meter dari Sungai Citarum. Siapa sangka, bangunan yang mulai dimakan usia itu adalah saksi peristiwa penculikan Soekarno - Hatta oleh pemuda, kalla dwitunggal ini didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.
Selama ini, rumah bersejarah yang terletak di Dusun Kalijaya RT 01 RW 09 Rengasdengklok Utara, Karawang tersebut dirawat oleh ahli waris pemiliknya, petani Tionghoa Djiau Kie Siong. Mereka secara swadaya menjaga dan melestarikan situs warisan sejarah awal kemerdekaan Republik Indonesia ini.
"Kita tenaga sendiri aja yang bersihin dan merawat (rumah proklamasi Rengasdengklok). Enggak ada bentuk perhatiannya, Pemda Karawang enggak ada, elo-elo gua-gua ibaratnya," kata ahli waris generasi ketiga Dyiauw Kwin Moy (Iin) kepada merdeka.com saat dijumpai di serambi Rumah Proklamsi Rengasdengklok, Senin (11/8).
Iin mengungkapkan pernah datang bantuan biaya guna merawat beberapa bagian rumah yang sudah mulai rusak. Tetapi bantuan itu malah datang dari pemerintah daerah (Pemda) lain. Mereka mengaku prihatin dengan keadaan bangunan yang sudah mulai dimakan usia tersebut.
"Tahun 2006 kayu penyangga atap rapuh, dibantu BP3 Serang Banten, dia yang biayain, kita tahunya jadi aja. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, tahun 2012 juga membantu membangun gapura di depan rumah," terang dia.
Bangunan rumah yang berumur setara repulik ini ternyata masih menyimpan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Bukan hanya soal mengunjungi untuk mengenang peristiwa bersejarah atau sekadar ngalap berkah. Banyak masyarakat yang tak peduli pada warisan sejarah bermaksud memperjualbelikan rumah proklamasi Rengasdengklok jika sang ahli waris berkenan untuk menjual.
"Pernah didesak-desak terus sama masyarakat (ditawar), kita bingung akhirnya ke Pemda Karawang. Pemda Karawang bilang rumahnya sudah butut dan jelek, harganya harus nurut NJOP (nilai jual objek pajak) Karawang sebesar Rp 150 ribu per meter, kita kan terhina jadi enggak boleh," tutur Iin yang juga nyambi berjualan kopi di depan rumah tersebut.
Iin yang sekaligus penjaga rumah pun bercerita tak hanya menawar murah, Pemda Karawang sempat melarang rumah tersebut dijual ke pihak swasta. Walaupun tak ada keinginan untuk menjual, sampai saat ini ahli waris juga belum sepakat dengan harga yang ditawarkan Pemda Karawang denga harga terlalu kecil itu.
"Tidak boleh sama Pemda Karawang dijual ke orang lain, cuma 600 juta kalau dijumlahin. Kalau dibuat beli rumah (harga tawaran Pemda Karawang) segede ini gak kebeli, ini buat kenang-kenangan dari engkong dah," ucap dia sembari melayani pembeli di warung.
Masing menurutnya beberapa tahun lalu ada orang Jakarta yang tak dikenal ingin sekali membeli rumah tersebut. Mereka mengiming-imingi akan siap membayar berapa pun harga yang ditawarkan oleh ahli waris. Mulai saat itu di media massa menjadi ramai kabar jika rumah tersebut akan dijual.
"Ada orang Jakarta pernah mau beli berapa pun kalau keluarga buka harga. Pernah maksa ke rumah juga. Kita jadi gak ngerti kok terus ramai kabar di televisi kalau mau dijual, padahal tidak," cerita dia mengingat-ingat peristiwa itu.
Disamping itu, di hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia ke-69 ini dia mewakili keluarga besar petani Tionghoa Djiau Kie Siong, berharap adanya uluran tangan pemerintah untuk memperhatikan bangunan peninggalan sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut. Biaya yang minim dan swadaya dari keluarga selama ini membuat peremajaan bagian-bagian bangunan dilakukan semampunya.
"Kita pengeluaran rutin yang dibutuhkan untuk listrik, kebersihan dan biaya pajak. Sedang untuk pengecatan dan pengapuran (perawatan) juga dilakukan sebisanya," pungkas dia.
Baca juga:
Penjara Bung Karno di Bandung, tak terurus dan nyaris dilupakan
Putri Bung Hatta: Jangan lupakan sejarah
Simbol-simbol kemerdekaan yang terlupakan
Abraham Samad: Indonesia Belum Merdeka
Bendera Merah Putih 1.000 meter dipasang di Istana Bogor
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang menjadi cikal bakal sejarah penerbangan sipil di Indonesia? Pesawat persembahan dari masyarakat Aceh ini menjadi langkah besar industri penerbangan sipil di Indonesia. Saat ini, orang-orang bisa menikmati penggunaan transportasi udara yang jauh lebih nyaman dan aman tentunya. Namun, tidak banyak yang tahu bagaimana sejarah awal mula penerbangan sipil di Indonesia. Adanya transportasi udara ini berkat tokoh dan masyarakat terdahulu yang ikut andil dalam menorehkan sejarah penerbangan sipil di Indonesia.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Apa saja teknologi informasi yang paling berpengaruh pada sejarah Indonesia? Perkembangan teknologi sejarah di Indonesia dari masa ke masa ini menarik untuk disimak. Teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia di era modern. Dengan terus berkembangnya teknologi, berbagai aspek kehidupan, mulai dari komunikasi, pendidikan, hingga pekerjaan, mengalami transformasi yang signifikan.