Saksi ahli anggap wajar Miryam deg-degan diperiksa penyidik KPK
Pada sesi akhir persidangan, mantan anggota komisi II DPR itu meminta penilaian terhadap Reni mengenai kondisinya yang tertekan oleh penyidik KPK. Dia menceritakan saat pemeriksaan berlanjut beberapa kali harus ke toilet karena merasa tertekan sekaligus terintimidasi oleh penyidik.
Ahli psikologi forensik, Reni Kusumowardhani menilai hal yang wajar jika Miryam S Haryani merasa tertekan saat proses penyidikan sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi proyek e-KTP. Hal ini disampaikan Reni saat menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat.
Pada sesi akhir persidangan, mantan anggota komisi II DPR itu meminta penilaian terhadap Reni mengenai kondisinya yang tertekan oleh penyidik KPK. Dia menceritakan saat pemeriksaan berlanjut beberapa kali harus ke toilet karena merasa tertekan sekaligus terintimidasi oleh penyidik.
"Seseorang tertekan dalam penyidikan, normal, karena berada kondisi tidak normal. Artinya anda masih normal," terang Reni menjelaskan, Senin (18/9).
Dia menggarisbawahi adanya tekanan selama proses penyidikan bisa ditelaah dari konsistensi keterangan saksi. Lebih dari itu, intonasi suara dan kelugasan bahasa menjadi salah satu tolak ukur ada tidaknya tekanan dalam proses penyidikan.
"Yang penting di sini apakah anda mampu memberikan keterangan spontan, konsisten, itu yang kami telaah," tukasnya.
Namun, srikandi Hanura itu bersikukuh adanya tekanan dari penyidik KPK kepadanya. Miryam kembali mengajukan pertanyaan untuk dinilai Reni.
"Dalam proses tanya jawab. Si a maunya a si b maunya b. Menurut anda gimana, tekanan bukan?" Tanya Miryam.
"Pemicu stres bisa saja tapi kita lihat relevansinya sepanjang responnya lancar artinya masih bisa fight secara positif untuk berikan keterangan," tukasnya.
Diketahui, saat ini Miryam berstatus terdakwa setelah dijerat Pasal 22 Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi oleh jaksa penuntut umum KPK.
Jaksa penuntut umum KPK menerapkan pasal tersebut setelah pihaknya menilai keterangan Miryam tidak benar dan tidak bersesuaian dengan proses penyidikan dan keterangan para saksi lainnya dalam sidang korupsi proyek e-KTP. Saat itu politisi Hanura tersebut menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi e-KTP dengan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto.