Siapa Sangka Anak Kiai Sahabat Soekarno Ini Gemar Manjat Pohon, saat Dewasa Terpilih Jadi Presiden
Gus Dur adalah pemimpin yang begitu dicintai rakyat Indonesia karena sosoknya gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.
Karena perjuangannya, Gus Dur sampai dijuluki Bapak Pluralisme Indonesia.
Siapa Sangka Anak Kiai Sahabat Soekarno Ini Gemar Manjat Pohon, saat Dewasa Terpilih Jadi Presiden
Tokoh muslim sekaligus Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid begitu ikonik. Pria yang akrab disapa Gus Dur ini sangat dikenang dengan qoute legendarisnya 'Gitu aja kok repot'.
- Gibran Ogah Tanggapi Anies Baswedan yang Kritik Keras IKN
- Sertijab Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono Serahkan Tongkat Komando Kepada Jenderal Agus Subiyanto
- Masa Kecil Terkenal Tahan Banting, Cucu Menteri Penerangan Ini Kini Jadi Bakal Calon Presiden Indonesia
- Ragam Reaksi Bacapres Anies Baswedan & Ganjar Pranowo Tanggapi Kaesang Gabung PSI
Gus Dur adalah pemimpin yang begitu dicintai rakyat Indonesia karena sosoknya gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.
Karena perjuangannya, Gus Dur sampai dijuluki Bapak Pluralisme Indonesia. Dia begitu konsisten mengajarkan toleransi dan kemajemukan tanpa membedakan suku, agama, ras dan antargolongan.
Sosok Gus Dur Kecil
Sosok pria yang lahir 7 September 1940 ini mendukung kemerdekaan setiap individu sebagai warga negara tidak terlepas dari latar belakang dan masa kecilnya.
Menurut buku biografi yang berjudul 'Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid' karya Greg Barton, masa kecil Gus Dur dideskripsikan dengan kata nakal dan jenaka.
Dulunya, Gus Dur kecil adalah seorang anak yang tak kenal lelah dan bersemangat. Gus Dur sering melakukan hal-hal nakal.
Dalam buku itu, Gus Dur dikisahkan pernah diikat dengan tali tiang bendera di depan rumahnya karena dihukum atas leluconnya.
Bahkan, sebelum berusia dua belas tahun, lengannya bahkan pernah patah dua kali akibat suka memanjat pohon.
Latar Belakang Keluarga Gus Dur
Gus Dur merupakan anak dari seorang ulama tersohor KH Wahid Hasyim. Gus Dur juga diketahui adalah cucu dari pendiri organisasi Islam terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama KH Hasyim Ashari.
Ayah Gus Dur adalah pahlawan nasional sahabat dekat Presiden RI Soekarno. Dia pernah menjabat Menteri Agama di pemerintahan Proklamator RI tersebut.
Suami dari Solichah ini menghabiskan sebagian besar waktunya dalam persembunyian selama masa revolusi. Tepatnya usai Jepang menyerah kepada sekutu pada 1942-1943.
Wahid Hasyim juga disibukkan dengan pekerjaannya sebagai penasehat pemimpin revolusi, yaitu Jenderal Sudirman. Karena itu, Gus Dur hanya bertemu ayahnya setelah kembali dari persembunyian selama satu atau dua minggu pada larut malam.
Gus Dur juga sering disuruh oleh ibunya untuk merebus losion yang terbuat dari kulit katak dan mengoleskannya pada luka ayahnya. Keesokan harinya pada pagi hari, ayahnya akan pergi bersembunyi kembali.
Pada Maret 1948 setelah Indonesia merdeka, ayah Gus Dur akhirnya berkumpul kembali ke keluarganya. Ayah Gus Dur dilantik menjadi Menteri Soekarno mengharuskan seluruh keluarga pindah ke Jakarta.
Selama di Jakarta, Gus Dur tidak pernah bersekolah di sarana pendidikan yang elite meskipun ayahnya orang penting.
Wahid yang duduk di belakang mobil Chevrolet putih besar miliknya bersama Argo Sutjipto, melintasi jalan raya Bandung bersama Gus Dur yang duduk di depan dengan pengemudi.
Saat itu, hujan turun deras. Mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi pada pukul 13.00 WIB siang itu tergelincir saat melewati tikungan di atas jalanan yang licin. Chevrolet yang berputar itupun menghantam truk di belakangnya sampai Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar dari mobil.
Gus Dur dan sopirnya selamat. Nahas, sang ayah dan rekannya terluka parah dan tidak sadarkan diri. Sang ayah sempat dilarikan ke rumah sakit setempat dengan luka di bagian kepala, dahi, wajah serta lehernya.
Ditemani Gus Dur yang bermalam di samping tempat tidur ayahnya. Keesokan harinya, pukul 10.30 Minggu pagi, Wahid Hasyim meninggal saat Gus Dur berumur 12 tahun.
Pendidikan Karir Politik Gus Dur
Semasa sekolah, Gus Dur bukan termasuk murid yang bisa dikatakan berpestasi. Dia terpaksa mengulang tahun pertamanya dalam SMEP karena gagal membuktikan diri dalam ujian kelas.
Masih dibayangi duka meninggalnya sang ayah, Gus Dur menanggapi kegagalan itu dengan menonton sepak bola dan tenggelam dalam dunia buku.
Gus Dur akhirnya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya. Gus Dur kembali sadar akan keseriusannya dalam menempuh pendidikan.
Dia melakukan perjalanan tiga kali seminggu ke Pesantren Al Munawwir di Krapyak untuk belajar bahasa Arab bersama Kiai Haji Ali Ma'shum. Bacaan bahasa Arab yang dikuasai Gus Dur sudah benar-benar meningkat dan semakin fasih.
Setelah lulus dari SMP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat. Menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun. Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang.
Gus Dur juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963.
Dirinya juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pendidikan Gus Dur di Kairo jauh dari kata mulus. Pemicunya peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S).
Setelah itu, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis untuk majalah dan surat kabar. Artikelnya diterima dengan baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan reputasnya itu, dia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar. Gus Dur bolak balik Jakarta dan Jombang, tempat tinggalnya bersama keluarga.
Pada tahun 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Popularitasnya semakin menanjak. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asy'ari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam. Pada masa itu, Gus Dur memainkan peran aktif dalam menjalankan organisasi NU.Sejak saat itu, Gus Dur menjadikan dirinya sebagai reforman NU dan mendapat pengalaman politik pertamanya. Bergabungnya Gus Dur dengan NU menjadi langkah awalnya untuk berkiprah dalam dunia politik.
Pada Pileg 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.
Gus Dur menyebut, pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani.
Pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Pada Juli 1998, Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan PKB terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur bersama dengan Megawati, Amien, Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul lan mulai memilih presiden baru. Gus Dur kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Gus Dur menggandeng Megawati sebagai calon Wakil Presiden hingga tahun 2001.