Skrining, Upaya dari Kemenkes Untuk Penanganan Depresi Calon Dokter Spesialis
Skrining tersebut dilanjutkan dengan diagnosis mendalam oleh psikiater.
Kemenkes akan melakukan skrining sebagai upaya untuk menangani calon dokter spesialis alami depresi
- Psikolog Ungkap Kekerasan pada Anak Berakibat ke Kesehatan Mental & Jadi Luka Batin Sampai Dewasa
- Psikolog ke Para Suami: Temani Ibu Baru Hadapi Masa Sulit Awal Menyusui
- Ribuan Calon Dokter Spesialis Disebut Alami Gejala Depresi, Ini Kata IDI
- Menguji Data Kemenkes soal Ribuan Calon Dokter Spesialis Alami Gejala Depresi
Skrining, Upaya dari Kemenkes Untuk Penanganan Depresi Calon Dokter Spesialis
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, pihaknya melakukan skrining sebagai upaya untuk menyusun kebijakan untuk membantu para dokter residen yang depresi.
Azhar mengatakan bahwa dari seluruh komponen di RS, yaitu dokter, perawat, residen, dan lain-lain, residen atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) memiliki beban mental yang terberat.
"Anda bisa bayangin mereka pendidikan, melayani pasien, tidak bekerja pula, anak istrinya butuh uang, kadang-kadang mereka bukan lagi tinggal sama orang tua, sudah berkeluarga, dan sebagainya. Nah merekalah yang dalam tanda kutip, yang menanggung beban berat di rumah sakit, sehingga kami skrining dulu," kata Azhar dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/5).
Hal tersebut dia ungkapkan sebagai respons pertanyaan media tentang pemantauan dan penanganan peserta PPDS yang mengalami gangguan mental. Azhar mengatakan, skrining tersebut dilanjutkan dengan diagnosis mendalam oleh psikiater.
Azhar menilai, depresi bukanlah sebuah penyakit yang tak dapat disembuhkan. Apabila beban yang membuat depresi tersebut hilang, katanya, maka gangguan mental itu hilang.
Dia mencontohkan, sebelum masuk ke program pendidikan dokter spesialis, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek untuk Tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk mengetahui kesiapan kejiwaan peserta.
Atau, untuk masalah keluarga peserta, seperti perceraian, anak sakit, tidak didukung pasangan atau keluarga, maka pihaknya mencoba untuk mengumpulkan keluarganya untuk memberikan pemahaman agar dapat mengetahui dan siap menerima kehidupan peserta PPDS itu selama pendidikannya berlangsung.
"Terus kemudian kita bisa tahu juga, salah satunya, bahwa ini adalah masalah keuangan. Kita coba dengan (program pendidikan) hospital-based kita, tidak berbayar," kata Azhar dilansir dari Antara.
Adapun untuk masalah perundungan dari senior, kata Azhar, pihaknya mencoba mengatasi melalui berbagai peraturan dan sistem pencatatan.
"Kami tegas betul, residen senior yang membully daripada residen juniornya, nanti mereka akan mendapatkan catatan. Di dalam sistem logbook, jadi misalnya terlibat bullying dalam jangka waktu tertentu," katanya.
Dia menjelaskan, perilaku tersebut tercatat selama beberapa waktu tertentu, tergantung tingkat keparahan perundungan tersebut.
Misalnya, kata dia, apabila ringan maka catatannya hanya sekitar lima bulan, namun apabila perundungannya berat, maka catatan tersebut bertahan hingga dua tahun.