Soal pengelolaan swasta versus pemerintah jadi polemik di RUU Penyiaran
Soal pengelolaan swasta versus pemerintah jadi polemik di RUU Penyiaran. RUU ini sebenarnya sudah mulai dibahas sejak 2008 namun hingga kini masih belum mendapatkan titik temu.
Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang penyiaran hingga saat ini masih terus diolah oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini sebenarnya sudah mulai dibahas sejak 2008 namun hingga kini masih belum mendapatkan titik temu.
"Jadi memang RUU penyiaran ini sudah sejak lama, 2008, ini RUU yang paling lama dibahas dan tidak pernah mencapai kesepakatan, khawatir tidak segera mendapatkan titik temu karena tidak mencapai kesepakatan di DPR," kata Komisioner Korbid PS2P Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Agung Suprio dalam diskusi bertema RUU Penyiaran, Demokrasi dan Masa Depan Media, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/10).
Agung mengatakan pembahasan ini alot di parlemen karena terkait siapa pengelola multiplekser (mux) masih belum mencapai kata sepakat di DPR. Selain itu polemik antara single mux (diselenggarakan pemerintah) dan multi mux (diselenggarakan swasta) masih terus menjadi perdebatan yang membuat RUU ini tak kunjung rampung.
"Mandeknya di DPR karena satu hal, siapa pengelola mux di era digital ini. Ada pendapat single mux sudah seharusnya sebagaimana UUD1945 Pasal 33," ungkapnya.
Menurutnya, saat ini DPR masih berkeras bahwa pemilik dari mux tersebut seharusnya dikelola oleh pemerintah, sehingga menjadi single mux. Namun, kata Agung, jika sepenuhnya dipegang negara akan menyebabkan timbulnya potensi otoriter dan tidak memegang aspek demokrasi.
"Siapa pengelola ini? DPR bersikukuh ini dikuasai negara, perwujudan UUD. Kalau swasta melihat single mux potensi otoritarian terjadi. Kalau swasta yang kelola dikhawatirkan akan menerapkan sewa kelola atau beban yang besar, bisa mematikan," tandasnya.