Sosial media, antara madu dan racun
Sosial media mulai berkembang sejak munculnya Friendster pada 2002.
Sosial media mulai berkembang sejak munculnya Friendster pada 2002. Saat itu kemunculannya sangat fenomenal, dan hanya dalam waktu tiga bulan sudah meraup pengguna 3 juta orang.
Selanjutnya mulai muncul Facebook pada 2005. Booming Facebook yang kemudian disusul Twitter makin burning seiring dengan munculnya BlackBerry sebagai ponsel pintar pertama yang menawarkan push mention social media sehingga memudahkan penggunanya berinteraksi di jaringan sosmed.
Setelah BlackBerry, mulai bermunculanlah ponsel pintar lainnya terutama yang berbasis Android yang mendongkrak laju pertumbuhan sosial media.
Menurut survei Ericsson, pada tahun lalu, jumlah smartphone yang beredar di Indonesia mencapai lebih dari 40 juta unit, pengguna tablet 6 juta unit, dan tahun ini akan tumbuh melebihi 60 juta unit.
Di awal kemunculannya, sosial media, terutama Facebook dan Twitter, hanya dimanfaatkan sebagai ajang untuk menemukan teman lama, ngobrol, berkeluh kesah, sampai narsis.
Seiring berjalannya waktu, sosial media tumbuh menjadi ajang menyampaikan pendapat, opini, yang menurut penggiat sosial media Nukman Luthfie, sosial media telah berkembang menjadi media online milik pribadi dan sebagai microblogging.
Lewat sosial media, keterhubungan seseorang dengan orang lainnya makin luas dan makin dekat, karena mereka dipastikan makin intens berkomunikasi, baik sekedar me-like status ataupun me-mention gambar atau sebuah percakapan atau diskusi tertentu.
Informasi dan berita juga begitu cepat dan deras sampai ke ponsel pintar kita karena hanya dari layar kurang lebih 4-6 inci saja, penggunanya bisa melihat berbagai isu dan berita dari teman, follower, ataupun dari sejumlah situs online.
Perkembangan sosial media yang sangat pesat juga menjadi berkah bagi buzzer dan pelaku online shop. Bagi mereka, sosial media memiliki dampak positif karena bisa memanfaatkannya untuk mencari penghasilan.
Buzzer memanfaatkan follower mereka di Twitter untuk menyampaikan pesan dan misi dari kliennya agar bisa dibaca oleh banyak orang dan masyarakat luas. Menurut Nukman, banyak orang-orang yang mencari peluang usaha di Twitter, sehingga sangat gigih mencari follower sebanyak-banyaknya.
"Kalau politikus tentu ingin mencari dukungan sebanyak-banyaknya, kalau kalangan artis, biar makin popular sehingga rating bisa naik, sedangkan kalau dari perusahaan consumer atau jasa, biar produknya makin dikenal orang. Ada juga buzzer atau akun anonim yang tugasnya membentuk opini publik pada suatu kasus sengketa atau hukum tertentu," kata Nukman.
Sedangkan online shop umumnya memanfaatkan Facebook atau fanpage di Facebook untuk berjualan. Interaksi langsung dan real time menjadikan online shop begitu menjamur di Facebook.
Dampak negatifnya, seringkali pembeli tertipu ada online shop palsu atau sekadar spam, atau bahkan malah menyebarkan virus. Sosial media juga bisa membuat anak dan remaja menjadi robot yang malas berinteraksi di dunia nyata, menjadi egois, dan lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar PC maupun ponsel.
Lewat sosial media, segala aktivitas pengguna dan keluarganya dapat terpantau oleh orang lain sehingga menjadi lahan subur bagi kejahatan dan pencurian identitas untuk kepentingan pihak ketiga, meski bagi pengguna biasa masyarakat kebanyakan, hal itu kurang begitu berpengaruh. Pengaruh lebih besar bila dialami orang terkenal, selebritis, pejabat, ataupun politikus.
Pornografi juga bisa menjadi dampak negatif dari sosial media, karena tidak sedikit juga akun Twitter ataupun Facebook yang menawarkan gambar ataupun cerita porno yang tidak pantas dibaca remaja dan anak-anak.
Sosial media juga bisa menjadi ajang prostitusi online, karena komunikasi bisa dilakukan secara cepat dengan jaringan teman atau follower yang bisa seluas-luasnya.