Terapkan tarif APBS, INSA desak OP Tanjung Perak hapus uang rambu
Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur akan segera menerapkan tarif Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Namun aturan baru ini dinilai cukup memberatkan para pengguna jasa, dalam hal ini pengusaha kapal. Sebab biaya rambu yang tidak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tetap diberlakukan.
Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur akan segera menerapkan tarif Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Namun aturan baru ini dinilai cukup memberatkan para pengguna jasa, dalam hal ini pengusaha kapal. Sebab biaya rambu yang tidak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tetap diberlakukan.
Penolakan ini terlihat saat OP menggelar sosialisasi tarif APBS di Gedung Barunawati, Jalan Lasada M Nasir, Tanjung Perak, Surabaya, Selasa (19/9). Acara dihadiri Asosiasi Perusahaan Pelayaran Nasional (INSA/Indonesian National Shipowner Assosiation).
Salah satu penolakan itu dilontarkan Penasehat DPP INSA, Lukman Ladjoni di sesi tanya jawab. "Di sini saya melihat prosedurnya rancu. Okelah, masalah tarif APBS kita terima, karena apapun itu demi pembangunan," kata Ladjoni.
Cuma, lanjutnya, persoalan yang tidak dipahami, jika tarif APBS diterapkan, kenapa biaya rambu tidak dihapus? "Apa perbedaan antara uang rambu dengan APBS? Kalau uang rambu terus, maka pembayaran APBS harus mengikuti uang rambu. Karena itu adalah tanggung jawab OP," tanyanya.
Sayang, pertanyaan Ladjoni ini tidak dijawab secara memuaskan oleh Kepala Bidang Pengembangan OP Tanjung Perak, Surabaya, Albukhori. "Itu nanti kita bahas di sesi lain. Tapi itu menjadi masukan," jawab Albukhori yang kemudian ditimpali lagi oleh Ladjoni sehingga terjadi perdebatan.
Albukhori menyebut, sebetulnya penyesuaian tarif APBS sudah lama. "Kalau dari sisi penghitungan, lebih turun dia. Lebih rendah dari dulu, kan tarif APBS pakai GT (ukuran kapal). Terasa terlalu besar, sehingga disepakati untuk dihitung melalui muatan," tandasnya.
Dia melanjutkan, "Selisih cukup banyak, hampir 34 persen dari tarif awal. Kalau dulu kan GT kapal berapa? Tapi dengan adanya muatan ini lebih kepada pemilik barang ya, lebih rendah ya dari tarif awal," dalihnya.
Sementara dalam hitungan Ladjoni, justru pengeluaran pengguna jasa lebih besar. "Kalau muat 500 kontainer dengan GT 5.000, untuk bayar alur Rp 115 juta ditambah uang rambu Rp 3.000 per GT x 5.000, Rp 15 juta. Itu sudah Rp 130 juta. Belum uang pandu dan sebagainya. Jadi sekali keluar-masuk alur, total biaya mencapai Rp 200 juta. Untuk menekan biaya yang besar ini, uang rambu yang bukan PNBP, harus dihapus," tandasnya.
Sementara berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2008, PP Nomor 61 tahun 2009, dan Permen Nomor 63 tahun 2010, kata Ladjoni, bahwa alur pelayaran dan sebagainya, merupakan tanggung jawab OP selaku operator atau, kepanjangan tangan pemerintah.
"Berhubung negara tidak memiliki anggaran, maka diserahkan ke Pelindo dengan konsesi (perjanjian) 25 tahun. Maka disepakati pembayaran keluar-masuk alur, setiap kapal di atas 100 meter panjangnya, diwajibkan membayar," tegasnya.