Tersangka auditor BPK kesal selalu diarahkan saat melakukan audit
Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekaligus tersangka kasus suap opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap Kemendes PDTT, Rochmadi Saptogiri kesal dengan Eddy Mulyadi Soepardi, anggota audit keuangan negara 7 BPK-RI. Rochmadi mengaku kerap kali diarahkan Eddy terkait audit.
Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekaligus tersangka kasus suap opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap Kemendes PDTT, Rochmadi Saptogiri kesal dengan Eddy Mulyadi Soepardi, anggota audit keuangan negara 7 BPK-RI. Rochmadi mengaku kerap kali diarahkan Eddy terkait audit.
Hal tersebut terungkap saat jaksa penuntut umum KPK membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Rochmadi.
"Di BAP nomor 65 Anda, ada ucapan tai kucing, maksudnya apa? Makin dia kenal, banyak kawan, makin pusing saya, sama Pak Mur sama tahi kucing semua, politik. Kemudian saksi menjawab maksud dari pembicaraan saya adalah ungkapan kekesalan setelah ada arahan dari Prof Eddy selaku AKN 3. betul?" Tanya jaksa Takdir Suhan meminta konfirmasi kepada Rochmadi, Rabu (4/9).
Lebih lanjut, dalam BAP miliknya Rochmadi kembali menyebut nama seseorang. Namun dia enggan mengungkap identitas sosok tersebut.
"Makin dia kenal banyak kawan makin pusing saya, dia yang saya maksud adalah Prof Eddy. Sementara Pak Mur adalah bukan Moermahadi Soerja Djanegara bukan ketua BPK tapi saya tidak bisa menyebut siapa Pak Mur yang saya maksudkan. Saya kesal ketika itu," tukasnya.
Selain terungkap kekesalan Rochmadi terhadap Eddy, juga muncul istilah audit Firaun. Meski Rochmadi mengaku tidak diketahui maksud dari istilah tersebut jaksa penuntut umum KPK mengulik adanya kaitan istilah tersebut dengan audit laporan keuangan Kemendes PDTT.
Jaksa Takdir sempat menanyakan hasil laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2015. Rochmadi mengatakan laporan keuangan kementerian tersebut cukup banyak catatan catatan sehingga opini yang dikeluarkan oleh BPK-RI adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
"Ketika itu di tahun 2015 di Kemendes memang cukup signifikan maka opininya tidak mungkin WTP. Opininya WDP," ujarnya.
Terkait kasus ini, KPK menetapkan empat orang tersangka yakni Sugito selaku Irjen Kemendes, pejabat eselon III, Jarot Budi Prabowo, auditor BPK-RI Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli. Dua diantaranya telah berstatus terdakwa; Sugito dan Jarot Budi Prabowo.
Sugito dan Jarot didakwa menyuap Rochmadi dan Ali sebesar Rp 240 juta agar audit keuangan Kemendes PDTT 2015 dan 2016 menghasilkan opini WTP. Dari hasil laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2015 BPK yang diwakili tim PDTT (penemuan dengan tujuan tertentu) terdapat Rp 420 Miliar pengolaannya tidak wajar dan diyakini ketidakwajarannya.
Sedangkan di tahun 2016, kembali ada temuan ketidakwajaran sebesar Rp 550 Miliar terkait honorarium pendamping dana desa.
Sempat terjadi perbedaan pendapat dari internal BPK-RI mengenai hal ini. Ketua tim PDTT Yudi Ayodhya penggunaan anggaran tersebut sebaiknya dilakukan dengan metode at cost. Sedangkan ketua tim laporan keuangan BPK, Andi Bonanganom mengatakan penggunaan anggaran tersebut lumpsum, dan telah memenuhi lampirannya sebagai pertanggungjawabannya.
Sementara itu, selama proses persidangan dengan terdakwa Sugito dan Jarot, terkuak pula bahwa selain memberi Rp 240 juta, pihaknya melakukan 'patungan' guna uang operasional Rochmadi dan Ali dalam melakukan sampling.
Kedua terdakwa, didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bagaimana telah diubah dengan undang undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto pasal 64 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.