Anggota DPD Kritik Isi RUU KUHP: Pejabat Hina Rakyatnya Bisa Dipidana?
Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha menolak pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang termuat dalam RUU KUHP. Rachman mempertanyakan, jika ada pasal penghinaan terhadap lembaga negara, maka apakah jika seorang pejabat menghina rakyat dapat juga dipidana.
Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha menolak pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang termuat dalam RUU KUHP. Rachman mempertanyakan, jika ada pasal penghinaan terhadap lembaga negara, maka apakah jika seorang pejabat menghina rakyat dapat juga dipidana.
Sebab, jika mengacu pada asas hukum bahwa kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama. Maka pejabat pun mestinya bisa dipidana jika melakukan hal sama terhadap rakyat.
-
Apa itu Rekuh? Rekuh dianggap berbeda dari rujak lain karena isiannya yang tak hanya buah segar, melainkan juga ada tambahan potongan kentang dan tahu goreng.
-
Apa yang dimaksud dengan HUT Kopassus? Ucapan selamat Hari Ulang Tahun (HUT) Kopassus memiliki makna yang mendalam karena merayakan sejarah, dedikasi, dan jasa-jasa satuan elit militer tersebut dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara.
-
Kapan HUT Kopassus diperingati? Kopassus didirikan pada tanggal 16 April 1952. Selamat ulang tahun ke-72, Kopassus!
-
Apa arti KPPS? KPPS adalah singkatan dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Ini merupakan organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara dalam Pemilu di Indonesia.
-
Kapan KM Rezki tenggelam? Peristiwa tenggelamnya KM Rezki diperkirakan terjadi sekira pukul 13.25 WITA, Sabtu, 2 Desember 2023.
-
Kapan HUT RI ke-79 diperingati? Menjelang HUT RI ke-79 pada tahun 2024, logo dan tema yang dipilih memiliki makna mendalam yang menggambarkan esensi perjuangan dan aspirasi bangsa Indonesia di era kontemporer.
"Dengan asas seperti itu, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana?" katanya dalam keterangan tulis, Rabu (9/6).
Misalnya ketika pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga.
"Jika tidak berlaku dua arah, maka azas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan konstruksi hukum yang benar," tegasnya.
Di samping itu, Rachman Thaha juga mempertanyakan keberadaan upaya mediasi antara warga yang menghina lembaga negara dengan pejabat. Karena, ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum sering melakukan mediasi antarkeduanya.
"Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya? Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?" tanya dia.
Menurut Rachman Thaha, apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antaranggota masyarakat, namun otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan (bahkan meniadakan) untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat, maka pantas dikhawatirkan bahwa instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan.
Rachman Thaha menjabarkan ada tiga alasan pasal tersebut layak ditolak.
Semisal terkait niat jahat atau mens rea yang dipakai dalam pasal itu, Rachman Thaha menyatakan bahwa mens rea perlu dibagi lagi menjadi intent dan motive.
Menurut Rachman Thaha, keduanya berbeda dan mesti diperlakukan beda pula. Ia mencontohkan dua orang si A dan si B sama-sama dengan sengaja menghina presiden.
Rachman Thaha menerangkan, karena ada kesengajaan, maka terdapat intent di dalam perbuatan mereka. Polisi dan jaksa harus membuktikan keberadaan intent itu, tapi tidak cukup sampai di situ. Kedua lembaga tersebut juga harus buktikan motive.
Singkatnya setelah didalami, ternyata si A menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara. Penghinaan dianggap si A sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.
Sebaliknya, si B menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.
"Dari contoh itu bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motif antarmanusia bisa berbeda. Hukum, sekali lagi, tidak boleh memukul rata. Dalam contoh di atas, si A bisa dipahami sebagai orang yang sesungguhnya beritikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya. Penghinaan bukan sesuatu yang ada dalam konteks relasi personal," paparnya.
Sementara si B, sebaliknya, tidak punya itikad positif di balik penghinaannya itu. Penghinaannya adalah ekspresi pribadinya terhadap pribadi orang lain.
"Hukuman pidana, jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan kepada si B," tekan dia.
Seperti diketahui, draf RKUHP terbaru menerangkan adanya pasal penghinaan terhadap lembaga negara. Berikut isinya:
BAB IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA
Bagian Kesatu
Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Pasal 353 (1): Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 354: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Wamenkum HAM: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Delik Aduan, Beda dengan yang Dulu
Menkum HAM: RUU KUHP Masih Tahap Sosialisasi, Belum Masuk DPR
Demokrat Minta Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP Dikaji Kembali
KSP: Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP untuk Jaga Kehormatan Kepala Negara
Komisi III soal Kontroversi RKUHP: Yang Beredar itu Bukan Draf Baru
PPP Minta Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP 'Dipagari' Agar Tak Jadi Pasal Karet