Begini penjelasan Yusril soal sejarah & alasan DPR boleh angket KPK
Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memenuhi undangan Panitia Khusus hak angket DPR dalam agenda rapat dengar pendapat. Yusril memaparkan sejarah hak angket DPR, termasuk posisinya dalam hukum tata negara, termasuk sah tidaknya hak angket yang dilakukan DPR terhadap KPK.
Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memenuhi undangan Panitia Khusus hak angket DPR dalam agenda rapat dengar pendapat. Yusril memaparkan sejarah hak angket DPR, termasuk posisinya dalam hukum tata negara, termasuk sah tidaknya hak angket yang dilakukan DPR terhadap KPK.
Dalam rapat dengar pendapat di ruang KK I, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (10/7), Yusril mengawali penjelasannya terkait hak angket yang seharusnya dipakai dalam sistem parlementer. Hak angket sudah dipraktikkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak awal kemerdekaan dengan adanya KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjalankan tugas sebagai parlemen dan dilengkapi berbagai hak termasuk hak angket.
Pada 1954, lahirlah UU angket yang pertama dalam sejarah yakni UU Nomor 7 tahun 1954 tentang angket dan diberlakukan cukup lama sampai lahirnya UU MD3 saat ini.
"Jadi angket bukan sesuatu yang asing dalam sejarah ketatanegaraan. Diberlakukan baik dalam sistem presidensial kita yang awal, tidak sempat dilaksanakan tapi dilaksanakan dalam sistem parlementer, dan karena sistem kita ini tidak murni presidensial tetapi ada unsur-unsur parlementer di dalamnya maka angket itu juga melekat kepada DPR," jelasnya.
Kemudian menurut Yusril timbul pertanyaan dapatkan DPR secara konstitusional melakukan hak angket, maka dengan jelas dirinya menjawab bisa.
"Apa yang mau diangket, itu bukan kewenangan saya, bukan saya yang jawab, tetapi secara hukum tata negara dapatkah DPR melakukan angket terhadap KPK? Maka jawab saya, karena KPK dibentuk oleh UU maka untuk menyelidiki sejauh mana UU pembentukan KPK sudah dilaksanakan di dalam praktik maka DPR dapat melakukan angket terhadap KPK," jelasnya.
Karena KPK masuk dalam ranah eksekutif, menurut Yusril, wajar jika DPR melakukan pengawasan dalam hal ini melalui hak angket.
Yusril menjelaskan apa yang diawasi, tentunya tugas pokok KPK yang tertuang dalam Undang-Undang KPK yakni melakukan penyelidikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
"Tugas ini adalah tugas eksekutif, bukan tugas legislatif bukan yudikatif karena itu di dalam seluruh pembahasan RUU tentang pembentukan komisi tindak pidana korupsi yang menjadi UU pembentukan KPK itu baik pada saat dilakukan pemandangan umum oleh fraksi pada waktu itu yang saya dengarkan sendiri maupun pembahasan panja dan pansus sampe kepada kata akhir fraksi yang menjadi kekhawatiran adalah KPK ini akan tumpang tindih dengan dua lembaga lain," paparnya.
Dia menuturkan, pada awal pembahasan RUU KPK, dalam pandangan umum fraksi-fraksi maupun pembahasan di tingkat Panitia Khusus, sempat terjadi kekhawatiran tugas KPK tumpang tindih dengan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Yusril menjelaskan tumpang tindih atau overlapping tugas KPK itu tidak akan terjadi dalam melakukan tugas-tugas di bidang penyelidikan dan penuntutan dengan syarat-syarat tertentu.
"Fraksi yang mempersoalkan pertama kali adalah fraksi TNI/Polri dalam pembahasan. Ini gimana nanti jadi tumpang tindih, kalau tumpang tindih dengan polri dan jaksa jelas tumpang tindih antar organ-ogan eksekutif bukan tumpang tindih yang satu, eksekutif dan yudikatif dll," katanya.
Dirinya juga menjelaskan, dalam UUD 45 disebutkan tugas DPR yaitu membuat UU, pengawasan, dan membahas anggaran serta dalam rangka tugas pengawasan DPR dibekali hak untuk penyelidikan.