Biaya Pilkada Langsung Mahal, Sistem Pemilihan atau Parpol yang Jadi Biang Kerok?
Namun, pernyataan Tito yang menginginkan Pilkada Langsung dikaji ulang menuai protes dari sejumlah kalangan. Mereka menilai, yang seharusnya dievaluasi bukan terkait sistem pemilihannya, melainkan sistem kepartaian.
Usulan agar Pilkada langsung dikaji ulang kembali mencuat. Sebab, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai Pilkada langsung membuka peluang kepala daerah untuk korupsi karena mahalnya biaya pencalonan.
Dari perhitungannya, untuk mencalonkan diri sebagai Bupati, seseorang bisa mengeluarkan kocek Rp30 miliar. Angkanya bisa semakin tinggi mulai dari bupati hingga gubernur. Tito menantang bertemu kepala daerah yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun agar terpilih.
-
Siapa yang menulis kesan terhadap Tirto Adhi Soerjo dalam artikel "Mangkat"? Seorang anak didik Tirto Adhi Soerjo lainnya, Mas Marco Kartodikromo, menulis kesan terhadap gurunya itu melalui artikel bertajuk "Mangkat" yang dimuat di surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Kapan Arca Totok Kerot ditemukan? Pada tahun 1981, penduduk melaporkan adanya benda besar dalam gundukan di tengah sawah. Gundukan tersebut digali hingga terlihat sebuah arca. Penggalian hanya dilakukan setengah badan saja yaitu pada bagian atas arca.
-
Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo? Kartosoewirjo merupakan tokoh populer di balik pemberontakan DI/TII pada tahun 1948.
-
Kapan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir? Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1905, di Cepu, Jawa Tengah.
-
Bagaimana Bima Prawira menjalani pemeriksaan sebagai tersangka? Sekarang saudara BP sudah diperiksa sebagai tersangka tadi penyidik memberikan 37 pertanyaan kurang lebih," ujarnya.
"Ya kalau ada yang menyatakan enggak bayar nol persen, saya ingin ketemu orangnya," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
Namun, pernyataan Tito yang menginginkan Pilkada Langsung dikaji ulang menuai protes dari sejumlah kalangan. Mereka menilai, yang seharusnya dievaluasi bukan terkait sistem pemilihannya, melainkan sistem kepartaian. Beranikah Menteri Tito mengubah sistem kepartaian? Berikut ulasannya:
ICW Tantang Tito Ubah Sistem Kepartaian
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan pihaknya menantang Tito untuk mengubah sistem kepartaian sebelum mengkaji ulang Pilkada langsung. Menurutnya, jika partai tidak lebih dulu dibenahi maka akan sulit mengatasi masalah biaya tinggi pencalonan kepala daerah.
"ICW menantang Mendagri untuk melakukan reformasi kepartaian sebelum mengubah format Pilkada. Pembenahan partai menjadi prasyarat utama sebelum mengubah model Pilkada. Tanpa pembenahan partai, maka tidak akan pernah menyelesaikan persoalan politik yang berbiaya mahal tersebut," kata Kurnia di Jakarta, Selasa (19/11).
Dia juga menilai analisis Tito soal Pilkada langsung rawan membuat kepala daerah korupsi adalah kesimpulan prematur. Tito, kata Kurnia, mengesankan politik uang dan pemilih menjadi sumber masalah.
"Namun wacana pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung merupakan kesimpulan prematur atas keinginan pemerintah yang baru akan melakukan evaluasi. Ada kesan seolah-olah mengarahkan persoalan Pilkada berbiaya mahal hanya kepada pemilih. Faktor politik uang dituding menjadi biang persoalan," tegas dia.
Parpol yang Menyebabkan Biaya Politik Mahal
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan yang menyebabkan biaya politik mahal adalah partai itu sendiri. Hal ini membantah pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang mengatakan biaya politik Pilkada langsung terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Ketika mereka menuding biaya politik yang tinggi, mereka lupa diri kalau parpol-parpol adalah biang keroknya. Mulai dari pendanaan Parpol yang tak jelas, korupsi politisi dan kepala daerah, dan biaya tinggi pilkada, semua dilakukan oleh warga parpol yang sekarang seolah-olah tak merasa sebagai pelaku kejahatan politik uang tersebut," jelas Lucius kepada merdeka.com, Jumat (8/11) lalu.
"Lha memang siapa yang menabur uang di Pilkada? Mereka adalah calon yang diusung parpol juga kan? Selain ditabur ke lapangan kampanye, uang di Pilkada itu juga banyak 'dihisap Parpol untuk membeli' persyaratan dukungan calon," sambungnya.
Perlu Merevolusi Parpol
Lucius Karus mengatakan yang seharusnya dibenahi bukan terkait sistem Pilkada langsung yang dianggap sudah tidak relevan. Namun, yang harus diperbaiki adalah partai politik.
"Kalau parpol sadar bahwa mereka adalah penyebab kerusakan sistem, maka mestinya tantangan kita sekarang untuk membereskan money politics atau Pilkada Berbiaya Tinggi adalah merevolusi Parpol. Biang pengrusakan di tubuh parpol yang selama ini telah memicu politik berbiaya tinggi harus dirubah. Parpol harus tunduk pada sistem tata kelola parpol, dan tata kelola itu yang harus dipikirkan parpol," ujarnya.
Jadi seharusnya partai politik yang memperbaiki diri, jadi jangan menyalahkan sistem pemilu yang sudah ada. "Kenapa untuk sesuatu yang pemicunya adalah parpol, perbaikannya bukan pada mereka sendiri tetapi malah menuding hal-hal lain seperti sistem Pilkada Langsung?," kata Lucius.
"Berani enggak parpol mendeklarasikan reformasi parpol sebagai fokus utama sehingga sistem pemilu tak dipaksa bergonta-ganti hanya demi melindungi terus praktik menyimpang parpol dalam mengelola organisasi partai?," ujarnya.
Dapat Dukungan dari Partai Politik
Namun, rencana Pilkada langsung dievaluasi mendapat dukungan dari partai politik. Seperti Partai Gerindra menilai tak masalah jika Pilkada kembali dilakukan secara tidak langsung. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 juga tidak ada larangan untuk melakukan pilkada tidak langsung atau melalui DPRD.
"Dalam UUD Tahun 1945 tidak tertulis secara gamblang pemilihan langsung. Bunyi Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945: 'Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis'," kata Dasco dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/11).
Dasco mengatakan, pilkada langsung saat ini masih memiliki banyak kekurangan. Mulai dari angka korupsi yang tinggi hingga anggaran penyelenggaraan pilkada langsung yang cukup besar. "Meskipun besar atau kecil anggaran bukan menjadi permasalahan utama. Permasalahan yang lebih substantif adalah bagaimana terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan makmur, setelah terpilihnya kepala daerah di daerah tersebut," ungkapnya.
PDIP melalui Sekjen Hasto Kristiyanto menyatakan, pihaknya mendukung sistem Pilkada secara langsung untuk dievaluasi. Menurut Hasto, Pilkada berpotensi memecah belah masyarakat.
Ditambah kerugian Pilkada secara langsung adalah biaya politik tinggi, sehingga kepala daerah ada yang melakukan eksploitasi terhadap alam di daerahnya untuk membayar biaya Pilkada.
"Oleh karena itu karena kepentingan investor politik sehingga di daerah dilakukan berbagai eksploitasi alam luar biasa. Mengeruk kekayaan alam kita luar biasa karena Pilkada dengan biaya politik mahal," ujar Hasto dalam Bimbingan Teknis anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan se-Indonesia di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (19/11).
Pemerintah akan Bahas Usulan Evaluasi Pilkada Langsung
Sementara itu, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, usulan Mendagri, Tito Karnavian terkait evaluasi pelaksanaan pilkada langsung akan dibahas oleh pemerintah. Menurut dia, pemerintah saat ini belum menentukan keputusan terkait hal tersebut.
"Pemerintah belum punya pendapat resmi, kami baru saling lempar ide, jadi belum dibahas dan belum ada kesimpulan, tapi tentu akan dibahas. Dibahas pasti, tapi apa diubah atau tidak, itu nanti, " kata Mahfud Md di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (11/11).
Dia menjelaskan, dalam pertemuan bersama KPU pun tadi sempat disinggung namun belum tahap pembahasan. Presiden Jokowi pun, kata dia, akan menampung semua ide, termasuk usulan dari Mendagri Tito.
"Nanti dibahas semuanya, artinya semua ditampung dulu semua ide ditampung posisi tadikan KPU yang melapor kalau secara internal nanti kita akan bicara," kata Mahfud MD.
(mdk/dan)