Jokowi diimbau minta maaf atas pembantaian PKI 1965
Komnas HAM pada 10 Desember ingin presiden memaparkan visi penyelesaian kasus masa lalu, baik 65 dan lainnya.
Pembantaian jutaan orang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965-1966 adalah pelanggaran hak asasi paling parah yang terjadi di Indonesia modern. Selama Orde Baru, kasus itu tak disentuh, malah para pembantai disanjung-sanjung.
Sementara sejak berganti rezim reformasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengakui isu ini tak kunjung tuntas. Diharapkan, Presiden Joko Widodo bisa mengambil peran lebih besar. Apalagi politikus PDI-P itu pernah berkomitmen merampungkan kasus HAM pada kampanye pilpres.
-
Apa yang dilakukan Jokowi saat kuliah? Semasa kuliah, Jokowi juga aktif tergabung dengan UKM pencinta alam.
-
Mengapa para aktivis mendesak Presiden Jokowi terkait pelanggaran HAM? Mereka mendesak segera diadilinya pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran berat HAM.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Siapa yang Jokowi panggil terkait kasus penguntitan Jampidsus? Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku sudah memanggil Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung St Burhanuddin. Pemanggilan tersebut, buntut insiden personel Datasemen Khusus Antiteror (Densus 88) dikabarkan menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah.
-
Kapan Jokowi mengunggah postingan tersebut? Postingan tersebut diunggah pada 5 Oktober 2023.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
"Kita harus mendukung presiden baru karena dia ingin menyelesaikan masalah HAM," kata Komisioner Komnas HAM Muhammad Nur Khaeron selepas pemutaran film "Senyap" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (10/11) malam.
Film "Senyap" merupakan dokumenter yang secara gamblang menceritakan para korban tragedi 65. Sang sutradara, Joshua Oppenheimer, sebelumnya menggarap "Jagal". Karya itu temanya serupa tapi dari sudut pandang para pembantai yang tergabung dengan organisasi massa Pemuda Pancasila.
Joshua berharap Jokowi serius mengatasi pelbagai pelanggaran HAM berat di masa lalu. Indonesia mengalami horor Orde Baru yang otoriter, salah satunya karena ada gestok 49 tahun lalu.
"Tahun 1965 adalah titik awal pelanggaran HAM di Indonesia. Dari situlah rezim ketakutan dan senyap mulai terbentuk. Rakyat trauma, diam, dan terpaksa menerima pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi belakangan," kata sutradara asal Amerika Serikat ini.
Joshua mengakui AS terlibat dalam pembantaian PKI pada 1965. Sambil mendesak negaranya mengakui perbuatan keji yang didalangi CIA itu, dia pun berharap di dalam negeri, islah keluarga korban dan pelaku bisa dilakukan. Jokowi, menurut pria 40 tahun ini, harus jadi motornya.
"Presiden baru pernah berkata dalam kampanyenya, ingin menyelesaikan masalah HAM. Ingin mengakui apa yang terjadi. Kita harus mendukung segala upaya agar pemerintah Indonesia secara resmi mengakui yang terjadi dan meminta maaf sebagai bentuk rekonsiliasi," kata Joshua.
Komnas HAM mengaku tak lupa akan mengingatkan Jokowi untuk membahas soal pembantaian 1965. Isu-isu pelanggaran hak asasi lain seperti kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis pada 1998, juga akan disinggung.
Kalau perlu, Presiden Jokowi meminta maaf pada keluarga korban yang menderita karena dituding PKI, dan memastikan pelanggaran HAM tak terjadi lagi.
"Tanggal 10 Desember mendatang akan ada lokakarya nasional. Kami berharap ada pidato dari presiden baru. Kami harap beliau hadir, dan menyampaikan apa agenda pemerintah soal penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu," kata Nur Khaeron.
Untuk diketahui, pembantaian atas nama pembersihan anggota PKI oleh pelbagai sumber, termasuk pusat data TNI, menelan korban jiwa di kisaran 500.000 hingga 3 juta penduduk. Di luar korban tewas, ribuan orang ditahan tanpa proses pengadilan selama bertahun-tahun di kamp konsentrasi, misalnya Pulau Buru.
Istri dan anak yang tidak tahu apa-apa, turut menderita karena mendapat stigma anak komunis. Di KTP bekas tahanan politik, ada cap ET, sehingga seluruh keluarganya mustahil menjadi PNS lalu kerap diperlakukan tidak adil di sekolah.
(mdk/ard)