Klandestin PRD, rapat di hutan sampai kamuflase pengajian
Menghindari intelijen Orde Baru, PRD kerap menggelar rapat konsolidasi di pesantren, hutan atau lereng gunung.
Berdiri pada 22 Juli 1996 atau saat Orde Baru sedang buas-buasnya, tentu bukan perkara mudah bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Apalagi, ketika itu partai berhaluan sosialis-demokrat tersebut dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto.
"30 Tahun, delapan bulan dan 22 hari kekuasaan Orde baru," cetus Ketua Umum PRD, Budiman Sudjatmiko, menghitung usia kekuasaan Soehato saat itu. Pidato Budiman tersebut kemudian dikenal sebagai Manifesto Partai yang dibacakan tepat 22 Juli 1996 atau 16 tahun yang lalu.
Deklarasi PRD di Kantor YLBHI itu jelas bukan gerakan sporadis karena Orba kelewat bengis. Tapi cita-cita revolusi PRD saat itu sungguh-sungguh serius. Lama sebelum akhirnya dideklarasikan menjadi partai, PRD yang semula bernama Persatuan Rakyat Demokratik, sudah bergerak secara klandestin.
"Kami biasanya melakukan konsolidasi berpindah-pindah tempat untuk menghindari penciuman aparat intelijen," kata Budiman saat berbincang dengan merdeka.com di Jakarta, Rabu (25/7).
Semua tahu, di era kekuasaannya, Soeharto menempatkan aparat intelijen sampai ke desa-desa untuk mencium indikasi-indikasi gerakan pembangkangan terhadap pemerintahan otoriternya. 'Sehelai rambut jatuh pun Soeharto tahu,' demikian hiperbola bagi sang penguasa saat itu.
Untuk mengindar dari 'radar' Soeharto itulah, PRD kerap menjauhi keramaian saat hendak berdiskusi atau menggelar rapat-rapat konsolidasi. Tepi hutan atau lereng gunung akhirnya menjadi pilihan.
"Kita pernah rapat di sebuah hutan tembakau di ujung timur laut Jakarta, di mana kami harus naik perahu berjam-jam," kisah Budiman yang sekarang menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Namun dari sekian banyak, kata Budiman, paling sering rapat dilakukan di pesantren atau seminari. "Karena kebetulan banyak aktivis-aktivis PRD yang berasal dari kalangan pesantren atau calon-calon pastur yang gagal," kata Budiman sambil tertawa.
Untuk urusan kamuflase pengajian, Faisol Riza adalah jagonya. Berlatar belakang pesantren, pria kurus yang kini menjadi Staf Khusus Menakertrans itu, kerap menggunakan jaringannya para kiai di pesantren Nahdlatul Ulama (NU) untuk tempat mengumpat. Sementara untuk seminari, PRD sering menggunakan jejaring kadernya, Fransisca Ria Susanti.
"Pernah saat aparat memaksa masuk, kita langsung menaruh Alquran di depan dan menyembunyikan dokumen-dokumen kongres di bawah pantat kita," ujarnya.
Agar gampang disembunyikan, kata Budiman, dokumen atau diktat bahan diskusi dicetak dalam bentuk brosur-brosur kecil. "Jadi hurufnya pun sangat kecil-kecil," kata Budiman sambil mengernyitkan dahi.
Namun, tak semua kamuflase acara rohani itu berjalan mulus. Jika sudah tercium intelijen, kata dia, biasanya para kiai pondok pesantren atau pastor-pastor yang mengasuh seminari menggunakan otoritasnya untuk mencegah aparat masuk.
"Alasannya bahwa yang di dalam itu adalah santri-santri yang mengaji atau mahasiswa-mahasiwa yang sedang retret rohani," ujarnya.
Semua gerakan klandestin yang menyerempet bahaya itu, kata Budiman, menunjukkan perjuangan untuk demokratisasi melawan kediktatoran Orba bukan cuma perjuangan fisik atau praktik. "Tapi juga perjuangan teori," katanya.
Artinya, lanjut Budiman, PRD menuntut kader-kadernya tidak hanya pintar mengorganisir aksi massa, menghadapi moncong senapan atau gas air mata, tetapi juga wajib membaca dan menulis artikel untuk menjelaskan argumentasi sikap politik mereka.
"Mereka harus siap berlatih semuanya tanpa fasilitas. Harus siap dalam situasi apa pun, di kebun, di hutan, di pantai, di pesantren, kampus atau seminari-seminari," ujarnya.
Meski cita-cita revolusi akhirnya gagal, gerakan bawah tanah PRD sekian tahun itu membawa hasil yang tidak terlalu mengecewakan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 pengurus di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten/kota. Pada Pemilu 1999, partai bernomor urut 16 yang baru seumur jagung itu berhasil mengumpulkan 78 ribu suara.
Diaspora kader-kader PRD pun kini beragam. Ada yang menjadi anggota dewan, staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis handal, ideolog serikat buruh, pembela petani tembakau, pimpinan parpol di daerah-daerah, dan sebagainya. Ini semua tak akan mungkin tanpa perlawanan.
Baca juga:
5 Kesederhanaan Soeharto soal pakaian sampai pengawalan
Cerita Presiden Soeharto, pengamen dan koruptor
Soeharto sedih cuma bisa sekolah sampai SMP
5 Kisah menarik blusukan Soeharto
4 Tradisi spiritual dan kebatinan Pak Harto
Emas Astana Giribangun & ledakan saat penggalian makam Soeharto
Soeharto malu baru disunat umur 14 tahun
-
Bagaimana Soeharto mendekati keluarga dalam politik? “Ini pendidikan politik yang kurang baik, zaman Pak Harto selama sekian puluh tahun itu tidak pernah itu anak-anaknya terlibat politik praktis cuma dia di bisnis. Sekarang ini (era Jokowi) politik iya, bisnis iya,” kata Djarot.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Kenapa Soeharto diawasi ketat setelah Peristiwa G30S/PKI? Angkatan Darat tak mau Soeharto diculik oleh kekuatan PKi yang masih tersisa.
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Kapan Titiek Soeharto menjenguk Prabowo Subianto? Dalam keterangan unggahan beberapa potret yang dibagikan, terungkap jika momen tersebut berlangsung pada Senin (1/7) kemarin.
-
Kenapa Kunarto membawa pengawal ke hadapan Soeharto? “Saya pun membawanya ke depan Pak Harto, agar dia bilang sendiri,” kata perwira menengah Polri itu.